Kini ia melihat tubuh Begawan Bidaran melayang perlahan sejengkal demi sejengkal. Tiba-tiba suara menggelegar terdengar dan menghantam dada Toh Kuning hingga ia terjengkang. Suara itu mengandung kekuatan sangat hebat hingga mampu menembus dinding dan merobohkan orang-orang yang masih kebingungan dengan keadaan yang terjadi dalam ruangan.
Toh Kuning kemudian bangkit dan melihat gurunya telah lenyap dari hadapannya. Orang-orang pun menyeruak masuk untuk melihat keadaan yang baru saja terjadi. Mereka memeriksa setiap penjuru ruangan namun tidak ada benda-benda yang bergeser letaknya. Para prajurit dan cantrik padepokan yang mengalami peristiwa itu makin diliputi keheranan. Namun Gubah Baleman yang tidak melihat sosok Begawan Bidaran dalam ruangan segera menyadari. Ia mampu menilai peristiwa yang sangat jarang terjadi selama hidupnya.
Gubah Baleman melangkah menghampiri Toh Kuning lalu duduk di samping pemuda yang jiwanya terguncang hebat.
“Aku pernah mengalami masa-masa seperti yang pernah kau alami. Di masa itu, kita selalu berjalan dan mencari, berlari dan meraba dinding tebing untuk melihat gejolak yang terjadi dari sisi yang lain. Aku pernah mengalami masa yang sunyi dan berteriak dalam keheningan. Mungkin kita juga kadang-kadang terlalu jauh melampaui batasan sehingga kita bercanda dalam kematian dan kesengsaraan. Dan Begawan telah mencapai itu semua dalam puncaknya. Begawan telah berdiri di atas garis yang menjadi batas bagi sebuah permulaan,” Gubah Baleman berkata lirih.
“Saya hanya merasa senja itu tidak akan pergi dari sisiku, Tuan Rangga,” desah Toh Kuning.
“Kita belum dapat mengerti batas waktu kapan senja akan berlalu, Anak Muda. Aku selalu berharap tiada henti agar malam cepat berganti. Namun ketika matahari telah tinggi, tiba-tiba aku melupakan harapan yang pernah aku ucapkan.” Gubah Baleman tersenyum.
Unduh Kitab Kiai Gringsing di Sini
Toh Kuning merenung diam untuk waktu yang lama, Ki Rangga Gubah Baleman lantas bangkit dan meninggalkannya seorang diri. Ia kemudian berbicara dengan murid tertua yang telah ditunjuk Begawan Bidaran sebagai penggantinya. Sementara para cantrik mulai terlibat dalam kesibukan untuk melepas kepergian Begawan Purna Bidaran. Sebuah upacara akan mereka selenggarakan tanpa jasad Begawan Purna Bidaran, dan beberapa prajurit terlihat sibuk membantu para cantrik padepokan mengadakan persiapan. Dua orang cantrik menaiki punggung kuda dan mengabarkan keadaan terakhir gurunya pada pemimpin pedukuhan terdekat. Beberapa yang lainnya sibuk hilir mudik menyalakan oncor dan obor di banyak tempat sehingga suasana padepokan menjadi terang bermandi cahaya.
Untuk sementara waktu, mungkin kurang dari sepekan, perhatian mereka teralihkan untuk persiapan upacara bagi gurunya. Tetapi rasa duka dan kesedihan yang mendalam tampak jelas di setiap wajah dan sorot mata para cantrik padepokan. Keberadaan Begawan bukan lagi sekedar guru bagi mereka, namun lebih dari itu. Seorang cantrik yang dahulu adalah penyamun bahkan merasakan dunia telah menjadi gelap untuknya. Tetapi mereka saling berbicara untuk menguatkan yang lain. Upacara berlangsung khidmat dengan kesan yang kuat telah menggores perasaan untuk mengingat gurunya dalam setiap jenjang kehidupan.
Kepekatan malam kian memudar saat ufuk fajar sedikit memerah. Ki Rangga Gubah Baleman yang berada di dalam padepokan untuk memberi dukungan pada seluruh penghuni padepokan mulai berkemas. Untuk beberapa saat sebelumnya para prajurit juga telah selesai menghabiskan masa istirahat untuk sejenak. Toh Kuning menemui beberapa murid padepokan yang berusia lebih tua darinya. Ia berbicara mengenai satu dua perihal yang dirasakan penting untuk diketahui oleh mereka