Padepokan Witasem
senja langit mataram, cerita silat jawa
Bab 1 Senja Langit Mataram

Senja Langit Mataram 15

Matahari pun semakin surup, perlahan-lahan suasana sekitar pondok Syeh Winong berangsur gelap. Beberapa orang murid padepokan Sekar Jagad dan Randu Wangi terlihat menyalakan beberapa ublik yang tersemat di beberapa bagian dinding rumah, lalu menuju satu ruang menyerupai surau yang dindingnya menyatu dengan bangunan induk pondok. Dipimpin oleh Syeh Winiong,  mereka kemudian menjalankan kewajiban ibadah menjelang malam setelah masing-masing membasuh bagian-bagian tubuh mensucikan diri.

Demikian hingga waktu ibadah itu kembali dilakukan selang setelah datang waktu isya malam itu.

Bada Isya telah lewat akan tetapi ruang yang dipakai sebagai surau itu masih dipenuhi tamu-tamu dari Kademangan Janti yang rupanya belum juga beranjak dari tempatnya. Sampai wayah sepi bocah barulah mereka mengakhiri kewajiban utama tersebut.

“Alhamdulillah, Ngger, anak-anakku sekalian. Sampai malam ini kita masih diberikan berbagai nikmat  dari Gusti Allah hingga masih mampu menjalankan kewajiban ibadah kita. Karena tidak ada nikmat terbaik kecuali segala nikmat kesehatan hingga kita bisa dengan leluasa menjalankan usaha mendekatkan diri pada Sang Pencipta jagad raya ini. Untuk itu, Ngger, segala apa pun kesenangan yang kita dapatkan wajiblah kita selalu bersyukur bahwa segalanya itu hanyalah karena ridhaning Gusti Allah,”  kata Syeh Winong membuka perbincangan malam itu.

loading...

Ki Resa Demung juga para anak murid kedua perguruan itu tampak begitu memperhatikan. Kadang-kadang ngangguk-anggukan kepalanya.

“Baiklah, anak-anakku sekalian,  mungkin kalian terlalu lelah setelah melakukan perjalanan cukup jauh. Karenanya sebagai tuan rumah aku mempersilahkan kalian beristirahat. Cuma maklumlah pondok ini tidak mempunyai gandok yang bisa menampung kalian semua. Hanya ruang pendapa bertikar pandan itu yang mungkin bisa kalian gunakan bersama.”

“Janganlah terlalu sungkan, Kanjeng Syeh,”  kata Ki Resa Demung.  “Diberikan lilah untuk singgah saja kami sudah bersyukur,  akan tetapi tidak biasanya kami beristirahat di waktu yang belum terlalu larut malam ini.” Sejenak orang kedua dari Sekar Jagad itu berdiam diri, kemudian kembali berucap, “Maaf,  Kanjeng Syeh,  apakah aku boleh bertanya sesuatu?”

“Katakan Demung,  apa yang ingin kau tanyakan.”

“Aku tidak melihat santri-santri di sini?”  lanjut Ki Resa Demung.

Syeh Winong pun terlihat tersenyum sebelum berucap,   “Aku tidak punya santri yang menetap di sini Demung. Seperti kau tahu pondokku ini begitu kecil jika dihuni beberapa orang santri. Mereka yang belajar di sini rata-rata orang-orang sekitar pedukuhan terdekat.  Mereka datang, kemudian pergi setelah mengikuti pelajaran di sini.”

“Tapi kenapa malam ini tidak ada yang hadir?”

“Ya..mungkin mereka melihat di pondokku ini sedang kedatangan tamu sehingga mereka kembali pulang.”

“O,  maaf, Syeh.. Jika demikian tentu kedatangan kami telah mengganggu kegiatan di pondok ini.”

Syeh Winong tertawa kecil lalu katanya,  “Kau ini ada-ada saja, Demung,  bukankah kalian tidak berada di sini selamanya? Jadi aku kira tidak ada yang menjadi soal.”

“Pangestu, Kanjeng Syeh, besok sebelum matahari naik kami akan mohon diri untuk meneruskan perjalanan ke Mataram.”

Syeh Winong tiba-tiba terdiam. Sorot matanya yang lembut itu bagaikan membelah malam yang terhampar di luar surau itu. Sesekali terlihat orang yang sudah begitu tua  itu menarik napas dalam dan menghembuskan kembali dengan lembut.

“Mataram. Aku seperti melihat secerca cahaya yang sebentar lagi menjadi terang di sana,”  desis Syeh Winong kemudian.

“Maksud Kanjeng Syeh?”

“Seperti yang kau lihat, putra Panembahan Hanyakrawati yang menerima tongkat kepemimpinan Mataram itu sangat lain dari para pendahulunya. Bekal yang disandang Raden Mas Rangsang untuk menjadi seorang raja sangatlah lengkap. Dia tidak hanya mumpuni tentang ilmu bagaimana menata sebuah negeri, sebagai seorang Senapati yang tegas, akan tetapi juga mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang hubungan bagaimana seorang titah kepada Pencipta-Nya meskipun putra Panembahan Hanyakrawati itu masih terbilang muda. Itulah yang membuat panggraitaku menerima getaran-getaran cahaya yang akan memancar terang di Mataram.”

Ki Resa Demung mengangguk-anggukkan kepalanya.  “Apakah pengembangan kekuatan prajurit ini suatu usaha yang dilakukan Panembahan Hanyakrakusuma untuk kemajuan Mataram pula?”

“Bukan hanya itu. Tidakkah kau lihat di sepanjang jalan yang kau lalui? Bagaimana penataan cara bercocok tanam yang luar biasa. Belum lagi kegiatan-kegiatan perdagangan yang semakin hidup. Di sisi lain juga mewajibkan membangun banyak surau-surau di setiap pedukuhan atahu kademangan yang berada dalam kesatuan wilayahnya.”

“Ya, aku melihat seperti yang Kanjeng katakan itu,” sahut Ki Demung.

“Untuk itu, Demung, kau dan anak-anak muridmu yang akan menyokong kebesaran Mataram melalui jalur keprajuritan,  sudah sepantasnyalah kalian bersungguh-sungguh dalam mengemban tugas itu. Karena apa yang kalian lakukan semata-mata bukan hanya untuk Mataram belaka. Akan tetapi untuk kemakmuran bersama para kawula yang berdiri di bawahnya.”

“Terima kasih atas petunjuk yang Kanjeng Syeh wedarkan. Mudah-mudahan kami mampu melakukan amanat itu semampu yang kami dapat.”

“Angger sekalian,”  kata Syeh Winong kemudian, “hari telah semakin larut. Kalian istirahatlah untuk menghimpun tenaga. Karena tentu besok masih akan banyak hal yang akan kalian lakukan.”

Begitulah kemudian satu per satu para pemuda dari kedua perguruan itu meninggalkan surau menuju ruang pendapa yang dimaksudkan. Maka surau pun menjadi sepi. Hanya Syeh Winong dan Ki Resa Demunglah yang sepertinya belum ingin beranjak dari duduknya.

“Kau tidak beristirahat, Demung?”  bertanya Syeh Winong kemudian.

“Jika Kanjeng masih di sini, tentu aku akan bersedia untuk sekedar menjadi kawan bicara.”

“Baiklah, Demung, Aku memang belum merasakan mataku menjadi berat,”  ucap Syeh Winong. “O ya Demung, bagaimana dengan cantrik muda itu?”

“Jaka Tole?”

“Ya,  anak itu,” tukas Syeh Winong singkat.

“Maksud Kanjeng Syeh?”

“Mungkin pandanganku ini salah. Akan tetapi aku melihat sesuatu yang tersembunyi dari dalam tubuhnya.”

“Entahlah, Kanjeng, aku sendiri yang sudah bersamanya semenjak anak itu masih kecil tapi belum mampu mengungkap keanehan dalam dirinya.”

“Keanehan?”  tukas Syeh Winong.

“Benar.” Ki Resa Demung lantas menceritakan riwayat anak itu tanpa ada tercecer dari awal dirinya dan Ki Gede Sekar Jagad menemukan anak itu ketika masih berusia kurang dari lima tahun. Ketika melihat anak itu seorang diri menangis di atas tumpukan-tumpukan mayat akibat sebuah pertempuran yang dirinya sendiri tidak melihat kejadian pertempuran tersebut.

Diceritakan pula bagaimana anak itu sampai kini selalu diselimuti bayang-bayang mengerikan yang mungkin pernah dilihatnya kala itu. Bayang-bayang darah dan kematian yang hingga kini membuat anak itu sangat tidak menyukai sesuatu yang berbau pertarungan. Dan membuatnya tidak suka melihat berbagai perselisihan yang berakhir dengan perkelahian dengan alasan apa pun. Apakah itu demi kebaikan,  atahu membela kebenaran sekalipun baginya segala perselisihan yang berakhir dengan perkelahian dan darah, semua adalah memuakkan.

Syeh Winong pun mendengarkan cerita Ki Resa Demung dengan seksama. Rupa-rupanya orang tua itu tertarik dengan kisah yang dialami Jaka Tole yang diungkapkan Ki Resa Demung. Sampai pada satu ketika menimpalinya,  “Jadi nama Jaka Tole itu pemberian adi Kunto Pambudi?”

“Sedemikianlah, Bapa. Akan tetapi sebelum kami berangkat ke Mataram beberapa waktu lalu Ki Gede Sekar Jagad mengatakan bahwa nama anak itu sebenarnya Layungpati.”

“Layungpati?”  desis Syeh Winong.

“Demikianlah, Kanjeng,”  tukas Ki Demung.

Wedaran Terkait

Senja Langit Mataram 9

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 8

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 7

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 6

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 5

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 4

Ki Ras Haris Ph

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.