“Karena Arya Penangsang tidak akan dapat kalian hentikan,” teriak Gagak Panji dari luar atas umpatan Poh Kecik. Dengan pandang mata mengancam pada orang-orang yang tergeletak di sekitarnya, lanjut Gagak Panji, “Pulanglah! Ajak serta teman-teman kalian yang berada di dalam! Kalian dapat menjadi korban keganasan Arya Penangsang.“
Ki Maja Tamping, Poh Kecik dan orang-orang yang berdiri di dalam kedai merasakan bahwa ancaman Gagak Panji akan menjadi nyata. Udara yang mengapung di sekitar gelanggang perkelahian benar-benar mencekam. Medan pertempuran yang sempit untuk ukuran kemampuan mereka menjadi semakin sempit ketika dirasakan oleh anak buah Lembu Jati. Kelebihan jumlah serta penggunaan senjata ternyata tidak memberi keuntungan atau hasil yang diinginkan orang yang menyuruh mereka.
“Kalian dapat mendengar yang diucapkan orang itu,” tegas Arya Penangsang menguatkan ancaman Gagak Panji.
Namun, di dalam waktu yang dirasakan lama, seruan Gagak Panji seperti tidak sanggup membuat mereka bergerak mundur. Meski demikian, mereka juga tidak segera menyerang Arya Penangsang yang berdiri sebagai satu-satunya penantang di dalam ruangan.
Inilah keadaan yang mendebarkan bagi Ki Tumenggung Prabasena apabila Adipati Arya Penangsang benar-benar tidak memberi ampun bagi pengeroyoknya. Meski berkelahi tanpa senjata, Arya Penangsang tetaplah dapat menjadi petarung yang mengerikan. Kecepatannya akan menjadi tumpuan utama. “Sekalipun mereka mengepung dalam gelar yang sangat rapat, sekalipun mereka tetap mengayunkan pedang, namun yang menjadi lawan mereka adalah Adipati Jipang, Arya Penangsang,” desis Ki Tumenggung Prabasena.
Itu pula yang menjadi persoalan yang mengusik jalan pikiran Ki Maja Tamping dan Ki Bajijong. Mereka berdua telah membuat pengamatan yang memadai mengenai kemampuan tiga lawan mereka. Memang benar, kecepatan akan menjadi satu-satunya yang diandalkan setelah Ki Tumenggung Prabasena melarang dua kerabatnya untuk menggunakan ilmu pilihan. Hanya saja, mereka tidak menduga bahwa kecepatan yang dipunyai Arya Penangsang berada di luar perkiraan sebelumnya.
Tanpa ada rasa sungkan atau menghargai sikap lawannya, Ki Maja Tamping pelan-pelan membuka jalan bagi ilmunya. Pikirnya, dia dapat memanfaatkan sikap jantan Arya Penangsang yang tidak akan mengeluarkan senjata maupun ilmunya. Ki Maja Tamping meyakini bahwa sikap itu pasti menjadi nyata karena seperti itulah yang melekat pada keluarga dan kerabat Raden Trenggana. Ki Maja Tamping pun memutuskan tidak akan memberi tahu dua pembantunya mengenai rencananya yang secara diam-diam akan menghantam Arya Penangsang dengan ilmu simpanan. Tidak, pikirnya, jika saudara Arya Penangsang mengetahui hal itu maka mereka akan kembali mencampuri perkelahian.
Waktu melayang begitu lambat, begitu perasaan anak buah Ki Maja Tamping. Pada keadaan demikian, mereka merasakan bahwa udara di dalam kedai menjadi semakin tipis sehingga dada mereka menjadi sesak. Sebagian melepaskan pandang mata sembunyi-sembunyi untuk memperhatikan keadaan kawan. Lambat laun, peluh membasahi bagian punggung dan wajah mereka seolah ruangan kedai benar-benar terasa panas. Mereka tahu meskipun Adipati Jipang masih membekukan diri, tetapi sikap dan sorot matanya telah menyerbu mereka dengan serangan-serangan tajam.
Pada tataran dan keadaan tertentu, Arya Penangsang sebenarnya telah menyatakan perang jiwani yang luar biasa. Daya gempur Arya Penangsang sanggup memengaruhi daya tahan lawan-lawannya sehingga urat dan otot mereka pun mulai terjangkit rasa penat.
Semakin lama Adipati Jipang itu membeku, suasana di dalam kedai pun terasa bagaikan sedang terbakar hebat.
Dada para pengikut Ki Maja Tamping seakan-akan akan meledak! Mereka ingin segera menyerang Arya Penangsang dengan serangan yang ganas dan liar, tetapi kekuatan mereka seolah terikat oleh simpul yang sangat kuat. Mereka ingin menggeser tempat tetapi nyaris tidak ada daya untuk menggerakkan kaki walau setapak.
Itu adalah suasana yang sama sekali tidak menyenangkan bagi Ki Maja Tamping serta dua pembantunya. Itu adalah keadaan yang membuat mereka bertiga menjadi tidak mempunyai rasa nyaman. “Sesuatu harus segera dikerjakan dan terjadi!” tekad Ki Maja Tamping dalam hati.
Pekik perang pun melengking dari bibir Ki Maja Tamping yang bergetar hebat.
Perkelahian pecah! Dan Arya Penangsang benar-benar menunjukkan kemampuannya yang ramai dibicarakan orang. Sentuhan-sentuhan tangannya pada pergelangan lawan bukan saja mampu membelokkan arah tebasan, tetapi juga mengacaukan serangan demi serangan yang dilancarkan pengeroyoknya. Gelar tempur belum tersusun atau direncanakan oleh Ki Maja Tamping karena Arya Penangsang menggebrak terlebih dulu dengan serbuan yang dahsyat.
Ikuti : Kitab Kiai Gringsing – Geger Alas Krapyak
Hampir seluruhnya – dari delapan anak buah Ki Maja Taping – terpelanting. Sebenarnya Arya Penangsang tidak saja berkelahi dengan pengerahan kanuragan dasar, tetapi juga melampiaskan kekesalannya pada orang-orang tersebut. Dalam waktu secepatnya, dia bertiga harus segera tiba di ibukota Demak. Kejadian mengejutkan yang menimpa Raden Trenggana memaksa mereka bertiga menempuh jalur darat dengan perjalanan cepat, tetapi rencana adalah rencana ketika terhadang oleh kelompok Lembu Jati.
Sekejap kemudian, perkelahian meningkat cukup ganas dan sengit. Empat lawan – yang masih sanggup tegak berdiri – membentuk setengah lingkaran mengepung Arya Penangsang. Sekilas sulit bagi Adipati Jipang itu meloloskan diri karena di belakangnya adalah dinding kedai yang tidak mempunyai bagian jendela. Gelar Ki Maja Tamping terkesan kuat karena memang dapat mencegah Arya Penangsang melepaskan diri. Tetapi, sekali lagi, Arya Penangsang adalah petarung tangguh yang mampu menatap mata lawan secara langsung dengan mantap. Setapak demi setapak, Arya Penangsang menggeser kedudukan. Tidak terlihat gelagat untuk meninggalkan gelanggang karena Arya Penangsang adalah Arya Penangsang yang mendapat landasan kuat agar tidak pernah lari meninggalkan kenyataan.
Penaklukan Panarukan – Bab 2 Sabuk Inten
Setapak perlahan bergeser, selangkah perlahan maju. Kesunyian mengoyak udara di dalam kedai, menerkam hati setiap orang yang telah merendahkan tubuh.
Ki Maja Tamping sadar bahwa maut akan datang menerkam dalam hitungan kedipan mata. Dia bersiap sepenuhnya melindungi diri sendiri, sedangkan pertahanan anak buahnya pun cukup untuk mereka sendiri. Ki Maja Tamping tidak merasa perlu untuk peduli dengan keselamatan anak buahnya. “Ini adalah perkara yang berbeda,” katanya dalam hati.