Bondan sama sekali tidak menyahut kata-kata Jalutama. Ia menarik napas panjang kemudian menundukkan kepala. Jalutama kemudian diam sambil memperhatikan keadaan Bondan. Ia segera berpikir tentang sebuah keadaan ketika jelas melihat dua tangan Bondan sedikit gemetaran.Wajah gelisah terlihat jelas di raut wajahnya meskipun mereka berada di dalam kegelapan.
Selang beberapa waktu kemudian, Ki Hanggapati dan Ki Swandanu datang mendekati mereka berdua. Menyusul kemudian para pengawal Menoreh yang mengambil tempat sedikit jauh dari empat orang itu. Dalam waktu itu, Ken Banawa memandang lurus Bondan seakan-akan sedang menyelami gelisah yang membayang di wajah Bondan. Ia teringat ketika Bondan menyisir jurang kematian dalam menghadapi Mpu Gemana. Ken Banawa memang mengenal watak Bondan lebih baik daripada yang lain.
“Angger Jalutama.“ Ken Banawa mendekat lalu berkata dengan suara rendah, “Aku menyaksikan saat terakhir mereka bertiga mempertahankan diri. Aku tidak mengatakan belasan nyawa para penyamun itu sebanding dengan Sapta. Dengan jasad Sapta yang berada di pundaknya, ia berhasil mengurangi belasan orang. Tetapi, yang terjadi dalam pertempuran itulah yang disesalkan olehnya. Jika saja mereka tidak berusaha membunuh mereka bertiga, tentu saja Bondan tidak akan menebarkan kematian lebih banyak lagi.”
Para pengawal dan yang lainnya ikut mendengar ucapan Ken Banawa, lalu merasakan kulit mereka meremang. Ki Hanggapati dan Ki Swandanu dapat mengerti keterangan Ken Banawa, sehingga mereka berdua dapat merasakan kedukaan yang membebat Bondan. Mereka ingat ketika beberapa saat sebelum pertempuran terjadi, wajah Bondan menyiratkan gairah untuk menjaga sebuah harapan. Dan pada malam itu mereka memandang wajah Bondan begitu sayu dan lelah. Para pengawal juga dapat melihat perbedaan yang terjadi dari wajah Bondan. Tiba-tiba Bondan bangkit berdiri lalu melangkah menjauhi mereka kemudian duduk di sebelah api yang berasal dari obor kecil – yang sebelumnya tersimpan di bawah perut kuda pengawal Menoreh.
Ken Banawa meminta mereka supaya membiarkan Bondan dalam kesendirian. Ia berkata, ”Bondan akan menjadi lebih baik lagi untuk beberapa saat ke depan. Biarkan ia mengendapkan gejolak yang terjadi dalam hatinya.” Jalutama dan lainnya manggut-manggut mengerti maksud Ken Banawa. Terdengar dari tempat mereka ketika Bondan mengeluhkan suara tertahan. Tetapi seperti yang dipesankan oleh Ki Rangga Ken Banawa maka malam itu tidak ada seorang pun yang menemani Bondan.
Bondan yang duduk bersandar dengan lutut sedikit ditekuk, kemudian mendongakkan kepalanya. Ia bergumam, ”Jika membunuh adalah cara yang harus aku lalukan, mungkin saja saat itu memang tidak ada cara yang lain yang lebih baik. Karena aku sendiri tidak akan dapat melarikan diri bila hanya dengan menghindar dan menghindar. Peristiwa di halaman banjar memang tidak memberi pilihan selain membunuh atau dibunuh. Tetapi perlakuan mereka terhadap pengawal Menoreh sungguh benar-benar kejam.” Bondan mengeluh tertahan. Membayang di pelupuk matanya ketika tubuh Juwari tercabik-cabik dengan ganas oleh senjata kawanan yang merampas hadiah dari Ki Buyut Menoreh. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya tetapi bayangan itu semakin mencekam. “Aku harus mengendapkan gelombang ini,” gumamnya dalam hati. Perlahan-lahan ia mulai mengatur napas dan mengurai rasa lelah untuk kemudian melepaskan gejolak hatinya ke udara bebas yang mengelilinginya.
—000—
Ketika Bondan telah jauh meninggalkan pedukuhan, Ki Kalong Pitu mulai memimpin kawanan itu untuk berkemas dan kembali ke Padepokan Sanca Dawala.
“Kalian segera panggil orang-orang pedukuhan untuk agar kembali kemari. Mereka harus merawat jasad Ki Bekel dan kawan-kawan mereka, sementara kita akan bawa pergi mayat orang yang berasal dari padepokan,” berkata Ki Kalong Pitu kepada belasan pengikutnya. Dalam waktu yang agak lama kemudian halaman banjar telah kembali bersih seperti tidak ada pertempuran yang tidak seimbang. Para penduduk pedukuhan seolah sudah terbiasa melakukan pekerjaan seperti itu. Tidak tampak rasa ketakutan atau kegelisahan membayang di wajah mereka. Bahkan sebagian dari mereka sempat bergurau dengan kawan-kawannya. Halaman banjar telah menjadi saksi kekejaman kawanan penyamun itu terhadap jasad salah seorang pengawal dari Tanah Menoreh.
Ki Kalong Pitu dengan dahi berkerut memandang beberapa penunggang kuda yang melaju sangat cepat.
“Apakah mereka yang datang itu orang-orang kita?” ia bertanya pada seorang yang datang belakangan.
“Aku tidak tahu, Ki,” jawab orang itu.
Raut wajah Ki Kalong Pitu segera berubah cerah ketika para penunggang kuda itu semakin dekat dengannya. Tujuh orang lelaki dan seorang perempuan penunggang kuda hampir bersamaan menarik kekang kuda saat memasuki halaman banjar. Dua ekor anjing kecil tampak berada di atas kuda.
“Ki Kalong Pitu,” sapa seorang yang baru saja turun dari kuda. Orang ini bertubuh tinggi besar dan dengan ikat kepala berwarna merah melilit rambutnya yang panjang tergerai sebahu. Teman-temannya juga telah melompat dari punggung kuda kemudian bergegas menghampiri sekelompok orang sedang mengemasi barang rampasan yang mereka peroleh dari orang-orang Menoreh. Beberapa dari mereka segera menyodorkan senjata milik orang Menoreh ke moncong dua ekor anjing kecil, lalu menyerahkan dua senjata itu pada orang yang menggendong anjing.
Ki Kalong Pitu mengangguk hormat lalu berjalan beriringan menuju sisi anak tangga banjar pedukuhan.
“Agaknya orang Menoreh itu berhasil melarikan diri,” kata orang bertubuh tinggi besar.
“Benar. Ternyata kita salah memperhitungkan kekuatan mereka, Ra Jumantara,” berkata Ki Kalong Pitu.
“Lalu bagaimana rencanamu selanjutnya?”
“Tentu saja aku akan menyuruh beberapa orang mengejar mereka,” Ki Kalong Pitu diam sejenak. Ia meneruskan, ”Mereka tidak akan dapat lari jauh melewati Alas Jatirata.”
“Kau terlalu merendahkan kemampuan mereka,” sahut Ra Jumantara. Kemudian ia berkata lagi, ”Mungkin saja mereka akan kembali kemari malam ini meskipun telah berkurang jumlahnya. Hal semacam itu dapat saja terjadi dan akan berakibat buruk bagimu jika kau lengah.”
Ki Kalong Pitu tidak menyahut kata-kata Ra Jumantara, ia justru mengalihkan pandangan ke barat. Sedikit lama ia berdiam diri, lalu katanya, ”Jika aku mengejar mereka dengan apa yang aku miliki sekarang, sudah barang tentu mereka akan mengirim orang-orang kita dalam keadaan tidak bernyawa lagi.” Kemudian ia menarik napas panjang.
Ra Jumantara melihat luka pada pundak Ki Kalong Pitu agaknya menyadari keadaan yang dialami temannya. Lalu Ra Jumantara berkata, ”Aku akan mengejar mereka. Dan menurutku, kemampuan orang yang aku bawa saat ini akan dapat mengatasi mereka. Sehingga dengan begitu mereka tidak akan pulang ke Menoreh.”
Ki Kalong Pitu menganggukkan kepala. Memang seperti itulah yang dilakukan oleh Padepokan Sanca Dawala dan orang-orang yang mengikuti mereka. Kawanan ini tidak pernah membiarkan seorang dari korbannya hidup.
“Bagaimana kalian bisa secepat ini menuju kemari?” bertanya Ki Kalong Pitu.
Ra Jumantara menoleh, lalu menjawab, ”Panah sendaren yang kau lepaskan terdengar hingga tempat para penghubung. Seorang cantrik sedang mengamati perkembangan yang terjadi di halaman ini. Dan ia telah meninggalkan tempatnya sebelum panah sendaren kau lepaskan. Untuk itulah aku mengajak serta Kirana dan Guwala untuk mengejar mereka.”
“Tentu saja kau tahu akibatnya jika orang Menoreh itu dapat mencapai rumahnya dalam keadaan selamat. Dan apabila itu terjadi maka rencana yang telah disusun oleh Mpu Reksa Rawaja akan mengalami kegagalan,” kata Ra Jumantara menambahkan. ”Beliau saat ini sedang berkemas menuju ke lereng Merbabu. Nah, sekarang perintahkan orang-orangmu untuk bergegas menyelesaikan pekerjaan ini. Aku akan mengejar orang-orang Menoreh itu lalu menyusuri lereng Lawu dan bertemu Mpu Rawaja di sana.”
“Baiklah,” jawab Ki Kalong Pitu dan mereka kemudian berpisah. Untuk sesaat waktu, Ki Kalong Pitu mengumpulkan orang-orang yang dianggap dapat memimpin pedukuhan hingga mereka mendapat kepastian dari Dhaha. Beberapa pesan juga diberikan olehnya untuk menjawab setiap kemungkinan yang bisa saja dapat ditanyakan oleh para pejabat di Dhaha. Pedukuhan beranjak menuju gelap ketika Ki Kalong Pitu mengakhiri pertemuan dengan orang-orang pedukuhan, lalu ia keluar menuju Padepokan Sanca Dawala.
“Marilah! Kita lekas tuntaskan persoalan dengan orang-orang dari Menoreh sebelum mereka melewati Jatirata!” seru Ra Jumantara pada tujuh orang temannya setelah ia meninggalkan Ki Kalong Pitu yang mulai mengumpulkan orang pedukuhan di banjar.