Kakek memegang lenganku ketika aku memperlihatkan gelagat ingin menghamburkan diri turun ke jalan. Aku ingin berada di tengah-tengah arus orang yang berlalu-lalang di jalan depan rumahku, tetapi tertahan eratnya jemari kakek.
Sebenarnya aku ingin meronta, melepaskan diri lalu bebuat sekehendak hati tetapi ada kekuatan ganjil yang lebih kuat untuk mengikuti arah langkah kaki Han Rudhapaksa. Berulang-ulang aku mendengar bisikan, “Ikuti dan perhatikan kakekmu.” Aku tidak dapat mengerti bahwa tiba-tiba ada suara yang nyaring terdengar di dalam telinga. Ketika aku bertanya pada Han Rudhapaksa, beliau memberi jawaban yang mengejutkan.
“Kakek tidak sedang berbicara padamu, dan kakek juga tidak bersuara sedikit pun. Bukankah engkau telah mengenal suara kakekmu ini?”
Aku mengangguk. Aku ingin mencari jawaban dari ibuku. Lalu kami berjalan sedikit jauh menuju halaman samping rumah.
Bulan terlihat begitu dekat. Langit tampak berhias dengan ribuan pernik bintang. Seorang kawan pernah mengatakan bahwa itu semua adalah mata dewa. Meski bingung mengartikannya, tetapi aku senang mendengarnya. Mata dewa. Saat itu, di samping kakek, aku membayangkan ribuan dewa sedang menyaksikan kegembiraan penduduk seisi wanua.
“Aku tidak sedang memintamu mengulang puja-puja. Tidak juga ingin mengujimu tentang makna mantra-mantra,” kakekku berkata.
Aku menatap kain penutup tubuh bagian bawah ketika mendengar kakekku bersuara.
“Kakek ingin memberimu penerangan agar kau benar-benar paham setiap kejadian yang mungkin terjadi saat berendam nanti. Dyah Murti, setiap orang yang berendam akan mengalami keadaan yang berbeda walaupun mereka berada di dalam satu aliran yang sama. Mungkin engkau merasakan air terlalu panas tetapi sejengkal darimu? Ia dapat saja menggigil kedinginan. Keadaan dapat berbalik dalam sekejap mata. Pada saat engkau menggeliat gelisah karena panasnya air, saat itu pula engkau dapat membeku. Bahkan bukan tidak mungkin bila hidupmu berakhir tanpa ada orang yang tahu.”
“Termasuk Kakek?”
Han Rudhapaksa mengangguk pelan. Aku melihat wajah kakekku dirundung kelam.
“Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari keadaan itu?”
“Tidak ada!” jawab kakek dengan raut wajah dingin.
Meski aku tidak terkejut atau heran dengan bahasa tubuh maupun wajah Han Rudhapaksa, tetapi jawaban itu memaksaku mengerutkan kening. “Bagaimana mungkin seseorang atau aku, misalnya, hanya diam menerima perubahan? Bukankah itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang bodoh?” batinku bertanya dengan nadanya sendiri. Ibuku, Prabandari Lis Keshwari, tidak menuntunku untuk berpikir atau bersikap semacam itu.
Kali ini, aku menolak jawaban Han Rudhapaksa.
“Sebagian orang akan merasakan kulitnya seperti tertusuk oleh jarum tetapi sedikit dari mereka yang dapat meresapi kelebihan itu,” lanjut kakek dengan sinar mata yang berbeda ketika beradu pandang denganku. Seolah-olah bukan Han Rudhapaksa yang mengatakan itu, tetapi sosok lain yang menguasai jiwanya. Aku mengenal kakekku. Aku mengetahui setiap garis yang berubah pada wajahnya, tetapi kali ini? Tidak! Aku tidak mengenali orang yang bicara denganku walau pun ia berwajah Han Rudhapaksa.
Dari balik tabir yang tidak aku mengerti, ketakutan datang mencengkeram tengkuk leherku. “Akankah aku akan mati malam ini?” suaraku tiba-tiba keluar di luar kendali otak dan perasaanku.
Seperti tidak mendengarkan ucapanku, kakek meneruskan kata-katanya, “Dyah Murti. Engkau telah mendengar, melihat dan mengetahui jarum emas yang lazim digunakan oleh orang-orang Kalingan.”
Jarum emas. Tanda keramat yang banyak ditanam di pekarangan, sawah dan pategalan, persimpangan jalan dan balok-balok yang melintang di bawah atap rumah. Sering aku bertanya pada Mpu Pali, dan lelaki yang usianya melebihi Han Rudhapaksa selalu menjawab, “Engkau akan mengerti bila masanya tiba.” Dan aku sabar menunggu.
Kali ini, aku mendapatkan jawaban Han Rudhapaksa.
“Ketika kulitmu terasa nyeri, sakit bahkan seluruh permukaan kulitmu terasa panas sedangkan air begitu dingin, maka sebenarnya yang terjadi adalah sang hyang tirta sedang melakukan pekerjaannya. Engkau tidak dapat menolaknya karena lini kehidupanmu telah ditentukan.”
Kali ini, aku membutuhkan penjelasan yang lebih panjang. Aku tidak dapat mengurainya karena upacara-upacara yang banyak digelar oleh orang-orang Kalingan terlalu rumit dipahami oleh anak seusiaku.
“Engkau akan bertanya tentang jarum emas. Dan sebelum waktumu untuk berendam tiba, aku akan mengulang kisah yang mungkin telah dilupakan oleh banyak orang. Kepadamu, aku ingin engkau sungguh-sungguh dapat mengingatnya dengan sangat baik.”
2 comments
[…] Bulan Telanjang 3 […]
[…] Bulan Telanjang 3 […]