Ki Tumenggung Wadas Palungan, Lembu Ancak dan sejumlah petinggi Demak yang turut dalam pertemuan itu dapat memahami adanya perubahan sikap Raden Trenggana. Meski mereka harus memeras pikiran terlebih dahulu. Nyatanya, pemerintahan yang dipimpin Raden Trenggana belum sepenuhnya dapat dinilai telah mapan. Pergolakan di berbagai daerah yang ingin melepaskan diri dari Demak masih ada dan tidak menutup kemungkinan penolakan itu semakin meluas.
Segolongan orang yang mempunyai kedudukan dan pengaruh dapat memanfaatkan keadaan dengan membuat pernyataan terbuka bahwa penguasa Demak adalah orang yang haus darah! Maka alasan Raden Trenggana menerima pendapat Pangeran Tawang Balun pun dapat diterima sebagian besar orang yang berada di dalam ruangan yang sama. Mereka sadar bahwa perdamaian pun tidak dapat dengan berjalan sendiri untuk meniadakan pemberontakan.
Setelah menimbang beberapa saat, sejumlah senapati maju dengan laporan yang mereka dapatkan dari daratan. Dua orang terpilih untuk mewakili mereka, Lembu Ancak dan Gending Pamungkas.
Kata Lembu Ancak, “Para petugas sandi telah berkeliling dan menyusuri garis pantai utara untuk mengamati keadaan. Sebagian wilayah terlihat tenang dengan batasan bahwa prajurit kadipaten masih bertahan di dalam barak masing-masing. Pada bagian yang lain, angkatan darat Demak telah berhimpun mengepung Lumajang dalam keadaan siap menyerang.”
“Bagaimana kedudukan mereka terakhir?” tanya Raden Trenggana. Sedikit menduga, Raden Trenggana mempunyai kekhawatiran bahwa akan ada sekelompok orang yang mbalelo dari perintahnya atau perintah panglima angkatan darat. Itu bukan sesuatu yang tidak mungkin karena himpunan besar itu terdiri dari prajurit-prajurit yang datang dari banyak wilayah.
Gending Pamungkas tanggap dengan pertanyaan itu, maka jawabnya, “Tidak menutup kemungkinan bahwa memang ada sejumlah orang yang mungkin tidak puas jika mendengar perintah mundur dari Raden Trenggana. Saya mempunyai keraguan atas pemimpin perang yang berada di daratan.”
Raden Trenggana bergumam sambil memandang Gending Pamungkas dengan sinar mata penuh arti.
“Niat dan tujuan pribadi tiap-tiap orang tentu berada di luar jangkauan kami, Raden. Bagaimana panglima angkaran darat dapat mengendalikan mereka supaya tetap berada di bawah satu perintah? Itu menjadi sesuatu yang cukup gelap, saya kira,” Gending Pamungkas menambahkan.
“Aku dapat menerima pendapatmu,” kata Raden Trenggana kemudian, “sementara ini, mengenai persiapan keamanan, apakah kalian pikirkan untuk itu?”
Lembu Ancak maju setapak, kemudian berkata, “Sudah pasti kita tidak dalam keadaan istirahat ketika berada di wilayah kekuasaan Blambangan. Kita membutuhkan jaminan.”
“Dan itu berarti?” tanya Raden Trenggana.
“Di atas perairan, Ki Wadas Palungan tidak akan memberi perintah istirahat bagi seluruh pasukan. Tidak seorang pun yang akan mendapatkan izin beliau,” kata Lembu Ancak. “Semua kapal akan bergerak mendekat dengan bola-bola besi panas yang dapat menjangkau pantai. Selagi Ki Wadas Palungan menggelar susunan kapal perang, kami – saya, Gending Pamungkas dan Ki Ageng Suluh – akan merapat lalu menemui Gagak Panji untuk membicarakan segala yang terkait dengan pertemuan.”
Raden Trenggana berpaling pada Ki Wadas Palungan kemudian bertanya, “Apakah Lembu Ancak atas sepengetahuan Ki Tumenggung?”
“Saya, Raden. Itu adalah puncak dari pembicaraan kami ketika Raden berada di atas perairan.” Kemudian Ki Wadas Palungan bergeser maju, menjelaskan hingga ke bagian kecil dari rencana yang berada di dalam benaknya.
Raden Trenggana bergumam, lalu katanya, “Aku dapat mengerti.” Untuk beberapa saat, Raden Trenggana menarik diri dari pertemuan namun pertemuan belum dibubarkan.
Di dalam biliknya, Raden Trenggana meninjau rencana Ki Wadas Palungan. Menimbangnya dari berbagai sudut pandang, dalam pemikirannya, Ki Wadas Palungan tidak mempunyai kelemahan dalam menyusun langkah-langkah bertahan. Rancangan Ki Wadas Palungan memang tidak menunjukkan keinginan untuk menyerang. Bahkan, Raden Trenggana harus mengakui keunggulan Ki Wadas Palungan yang tidak ingin memanfaatkan waktu sempit untuk menahan Hyang Menak Gudra. “Justru jika ia melakukan itu, maka segalanya akan musnah di garis pantai. Blambangan tidak akan membiarkan orang-orang Demak menaiki perahu dengan selamat. Mungkin justru Pangeran Tawang Balun akan turun tangan, dan bila itu terjadi, maka tidak akan ada orang yang selamat, termasuk aku,’ kata Radeng Trenggana pada dirinya.
Usai memantapkan hati untuk menerima dan menjalankan siasat yang diajukan oleh Ki Wadas Palungan dan anak buahnya, Raden Trenggana beralih pada pokok persoalan yang lain. Dari balik dinding kayu yang memisahkannya dengan para senapati, Raden Trenggana menelusur ulang ucapan Gagak Panji.
Tidak ada yang salah dalam tuntutan Gagak Panji. Secara resmi, Gagak Panji masih seorang prajurit Demak yang bertugas di Jipang. Dari hubungan darah, Gagak Panji juga mempunyai hak untuk bertanya dan meminta keadilan ditegakkan. “Ia tidak memiliki rasa takut padaku sekalipun dapat menduga bahwa aku dapat menjatuhkan hukuman mati padanya,” desis Raden Trenggana dalam hati, “Atau justru aku yang terkungkung dengan rasa takut itu?”
Pikiran Raden Trenggana seolah sedang berada di depan gerbang yang terkunci. Dengan kejujuran dan segala kerendahan hati, ia menyamakan tuntutan Gagak Panji yang mungkin mewakili sebagian besar orang seperti tuntutan seorang istri pada suami. Ada kewajiban-kewajban yang harus dipenuhi dan ada pula hak-hak yang dapat ditinggalkan dalam batasan tertentu. Ketika berada di dalam bagian itu, Raden Trenggana merasa bahwa ia seperti sedang menjadi seorang lelaki yang lari dari keharusan. Sulit baginya untuk memukul Gagak Panji atau orang-orang yang berpendapat sama dengan keponakannya itu.
Catatan :
Padepokan Witasem akan menunda kelanjutan Penaklukan Panarukan. Wedaran Lamun Parastra Ing Pungkasan 36 menjadi tanda henti sementara waktu. Kami rencanakan cuti ini akan berlangsung hingga awal bulan Oktober sebagai bentuk penghargaan pada penggemar cerita silat yang berkenan meluangkan kelebihan untuk membeli karya ini.
Kami sama sekali tidak mempunyai niat untuk membedakan, maka kami mohon agar Panjenengan semua dapat mengerti dan menjaga perasaan sedulur, sanak kadang yang rela menyumbang demi kerja keras dan waktu yang kami sisihkan selama ini, serta untuk menjaga kelangsungan hidup blog ini.
Mohon maaf sebesar-besarnya. Terima kasih atas segala perhatian, dukungan serta kerja sama yang telah berlalu dan esok hari.
Minal aidzin wal faidzin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1443 HIjriyah.
Ki Banjar Asman.
1 comment
[…] Lamun Parastra Ing Pungkasan 36 (Telah Terbit Bentuk PDF) […]