“Keluarkan senjatamu, Ki Sanak! Kau telah mengecewakanku karena kau tidak ingin keluar dari tempat ini dengan selamat bersamaku,” teriakan panjang menutup kata-kata Nyi Kirana. Bersamaan dengan itu, sepasang lengannya berayun-ayun mengerikan. Ki Hanggapati menggeliat menghindari rangkaian serangan yang nyaris tiada henti. Benturan keras berulang-ulang pada tangan dan kaki mereka pun lambat laun membuat jerih Nyi Kirana. Perempuan berkemampuan hebat ini merasakan tenaga besar Ki Hanggapati ternyata dapat menggetarkan jalan darah dan membuat perih pada kulitnya yang tampak terawat dan halus. Sambil memutar tubuh lalu meloncat ke belakang, dalam sekejap, ia menyerang dengan pedang yang tiba-tiba terjulur menggapai dada Ki Hanggapati. Senyumnya mengembang tetapi justru mengubah wajahnya menjadi seram.
Ki Hanggapati berseru tertahan ketika ujung pedang lawan telah berada sejengkal di depan dadanya. “Kecepatan seperti apa yang ada pada perempuan ini?” Ki Hanggapati bertanya heran dalam hatinya. Ia meloncat panjang beberapa langkah ke belakang, tiba-tiba pedang telah tergenggam di tangannya lantas cekatan mengibaskan untuk menangkis serangan. Ki Hanggapati agaknya ingin mengulangi dengan melakukan benturan pada senjata lawannya. Namun pedang Nyi Kirana sedikit lebih panjang dan terkesan menguasai ilmu pedang dalam tataran tinggi. Nyi Kirana merangsek maju dan serangan beruntun terus mengalir tanpa henti. Gelombang serangan perempuan ini akhirnya benar-benar menggetarkan Ki Hanggapati. Setiap benturan pedang terjadi, maka seringkali Ki Hanggapati merasakan tangannya kesemutan. Agaknya pedang Nyi Kirana bukan pedang yang berbahan biasa sehingga dapat menggandakan tenaga yang dikeluarkannya.
Pada suatu ketika, Nyi Kirana mengayunkan pedang seperti akan membelah tubuh musuhnya, Ki Hanggapati cepat menyilangkan pedang di atas kepala, berhasil menangkis hantaman pedang tetapi kemudian terhuyung-huyung mundur.
Ilmu pedang Ki Hanggapati lebih mendasarkan pada pertahanan diri, namun demikian, kemampuannya tidak mampu membawanya keluar dari tekanan. Sekalipun pedangnya mampu bergerak cepat membalas serangan tetapi yang menjadi lawannya adalah Nyi Kirana – seorang perempuan yang lama mengarungi dunia olah kanuragan. Kehidupan Nyi Kirana dalam Padepokan Sanca Dawala menjadikannya semakin matang dalam pertempuran. Dengan begitu setiap serangan Ki Hanggapati selalu didahului oleh Nyi Kirana yang bergerak lebih cepat.
Di sisi yang agak jauh dari lingkar pertarugan Ki Hanggapati, Ken Banawa tetap meneriakkan perintah-perintah pada para pengawal Menoreh yang berada di lingkaran yang berbeda meskipun ia sedang terikat perkelahian seru dengan Anggara Abang. Pedang senapati Majapahit itu terlihat bergulung-gulung dan seolah membungkus tubuhnya dalam selimut putih yang rapat. Anggara Abang mengakui dalam hati bahwa lawannya bergerak dengan kecepatan yang menjadikan tubuhnya seperti bayangan dalam kegelapan. Anggara Abang sering kali hanya menghantam angin setiap kali rantainya mematuk Ken Banawa. Telah jelas bagi Anggara Abang bahwa lawannya kali ini berada di atas kemampuannya.
Sementara itu, dalam kegelapan, Ken Banawa melihat keadaan tidak seimbang dialami oleh Jalutama dan pengawal Menoreh dalam lingkar pertarungan melawan lima orang Padepokan Sanca Dawala. Buruknya, Jalutama terhalang geraknya karena luka di bagian punggung yang belum membaik. Para pengawal Menoreh, Ki Swandanu serta Jalutama yang dikepung lima orang padepokan harus berjuang keras mempertahankan keseimbangan meski mereka berjumlah lebih banyak. Dalam usahanya itu, Ki Swandanu sering kali kelabakan menutup lubang yang ditinggalkan pengawal yang terpukul mundur atau yang terguling jauh.
Aba-aba Ken Banawa – yang merupakan perintah dalam siasat perang – ternyata dapat diatasi oleh lima orang lawan yang mempunyai kemampuan hampir seimbang dengan Anggara Abang. Tidak ada jalan lain bagi Ken Banawa selain melumpuhkan lawannya dengan cepat. Satu gerak tipu dilakukan Ken Banawa. Ia memiringkan tubuh ke kiri lantas secepat kilat kaki kanannya menebas lambung Anggara Abang. Pada saat Anggara Abang mengelak mundur, pedang Ken Banawa lebih cepat menyambar dada lawannya. Anggara Abang mengeluh tertahan ketika ujung pedang Ken Banawa merobek dadanya dan menggores luka parah.
Ken Banawa meloncat panjang meninggalkan Anggara Abang yang roboh bermandikan darah. Ketika tubuhnya masih berjungkir balik melayang di udara, Ken Banawa dapat menarik perhatian dari seseorang dari padepokan. Orang ini menyambut Ken Banawa yang mendarat berada pada barisan orang-orang Menoreh. Sekejap kemudian Ken Banawa telah terikat perang tanding melawan Kuntala yang bertubuh kurus dan tinggi. Dalam beberapa gebrakan, mereka telah terpisah dari lingkaran sebelumnya.
“Kau memang kuat, Ki Sanak,” berkata Kuntala. Ken Banawa tidak meladeni ucapan lawannya. Senapati tangguh ini terus memutar pedangnya yang bergulung-gulung seakan hendak menghanyutkan Kuntala dalam aliran sungai yang deras. Kuntala tidak ingin menjadi terdesak, ia mengimbanginya dengan memutar golok sehingga tubuhnya seperti terlapisi dinding besi yang kokoh. Dua orang itu bertempur dengan hebat. Mereka seperti mempunyai kekuatan dan kecepatan yang berada dalam lapisan yang sama. Sering kali mereka lenyap dalam kegelapan karena tertutup gulungan sinar senjata. Ken Banawa mendengar seruan tertahan Jalutama yang pundaknya tergores ujung tombak orang padepokan, seketika itu ia mengubah tatanan geraknya. Seperti saat ia bertarung dengan Ki Cendhala Geni, kini sepasang kakinya turut menyerang dengan tendangan yang berbahaya. Selain itu, tangan kirinya juga turut menyusupkan pukulan yang berbahaya. Dua jari kuat Ken Banawa menyelinap memasuki celah sempit menuju rusuk Kuntala.