Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 79

Pangeran Pringgalaya tampak merenung sambil sekali-kali menatap wajah ayahnya. Ia menarik napas panjang beberapa kali, kemudian berkata, “Ayah, sebaiknya tidak mengadakan perjalanan untuk beberapa pekan mendatang.”

Panembahan Hanykrawati tersenyum. “Tentu kau mempunyai alasan.”

“Ayah tidak dalam keadaan yang memungkinkan. Bukankah Ayah sering mengeluhkan rasa sakit di bagian dada?” tanya Pangeran Pringgalaya.

“Ini adalah sakit yang aku yakin bukanlah disebabkan oleh penyakit,” kata Panembahan Hanykrawati. “Para pelayan sudah mempersiapkan segala keperluan selama beberapa hari belakangan ini. Bisa jadi mereka akan kecewa apabila aku membatalkan perburuan. Sudah barang tentu engkau dapat membayangkan wajah-wajah lelah yang tidak terbayar, bukan?”

loading...

“Ayah, ini bukan masalah kekecewaan dari orang-orang yang berada di dekat Panjenengan.” Kali ini yang bersuara adalah Raden Mas Rangsang. “Saya justru tidak dapat membayangkan betapa riuh gemuruh suara hati mereka apabila Ayah mendadak jatuh sakit saat berburu, meskipun mereka tahu bahwa Ayah sudah menahannya dalam waktu lama. Dan, seandainya itu terjadi, Raden Atmandaru dapat tertawa keras sambil menepuk dada untuk hasil yang tidak diperoleh dari usaha.”

“Tapi tentunya engkau dan saudara mudamu tidak tinggal diam,” kata Panembahan Hanykrawati.

“Tapi bukan itu yang menjadi kehendak atau harapan Mataram, Ayah,” sahut Pangeran Pringgalaya.

Panembahan Hanykrawati menarik napas dalam-dalam. Yang diaktakan puteranya itu benar. Ia dapat mengerti perasaan yang sedang berkecamuk di dalam hati anak-anaknya. Mereka sedang terjerat dalam bayang-bayang perpisahan. Itu sudah pasti meremas hati mereka, pikir Panembahan Hanykrawati. Lantas ia berucap, “Kegelisahan hati kalian tidak boleh melampaui batas lalu mengusik ketenangan dan kedamaian Mataram. Sebagai pangeran, kalian harus mempunyai wawasan yang jauh lebih baik dari kebanyakan orang. Kalian berguru pada orang-orang yang terbaik pengajarannya di Mataram. Maka, sungguh tak pantas jika kalian memandang suram untuk masa-masa mendatang.”

“Ayah berkata seakan-akan hendak melakukan perjalanan jauh dan tak pernah kembali,” ucap lirih Raden Mas Rangsang yang kemudian diikuti anggukan oleh Pangeran Pringgalaya.

“Anakmas Rangsang, rasa takut kehilangan kerap disertai kegelisahan dan mungkin juga kecemasan dalam menghadapi masa depan. Ketika salah satu dari kita meninggalkan dunia, apakah keadaan kita tetap sama ataukah ada penyesuaian? Apakah kita duduk meringkuk dibekap kecemasan? Oh, bagaimana aku menghadapi esok hari? Apakah harus selalu begitu atau kadang-kadang menjadi begitu? Setiap kali sinar matahari merambah punggung pegunungan, setiap orang sadar bahwa malam akan datang. Mereka pun menyiapkan segala sesuatu agar dapat mengatasi persoalan yang mungkin timbul oleh sebab kegelapan. Oncor, obor dan lentera berminyak diletakkan pada tempat-tempat yang mudah dijangkau. Waktu kemudian berlalu, ayam berkokok, lantas orang-orang beranjak menyiapkan diri untuk pagi hari. Demikianlah kehidupan berputar dengan suatu ketetapan walau kita sering melupakan itu.”

Pangeran Pringgalaya mengangguk dengan kekhawatiran yang jelas membayang di wajahnya. Waktu singkat yang berlalu seperti memberinya kesempatan menata hati dalam menanggapi ucapan Panembahan Hanykrawati.  “Keadaan Ayah saat ini tidak sama dengan tahun-tahun yang telah berlalu,” ucap Pangeran Pringgalaya, “pada masa itu, Ayah sibuk dengan kekacauan-kekacauan yang benar-benar menguras pikiran dan memeras perasaan. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Panjenengan kehilangan ketenangan, tetapi tidak ada ketenteraman yang abadi di dalam hati manusia.”

“Sebuah pohon yang berusia ratusan tahun pun akan didera lapuk, dan itu mungkin terjadi pada bagian-bagian yang tidak terlihat oleh kita,” kata Panembahan Hanykrawati. “Aku sudah dihinggapi beban yang enggan pergi dari rongga dadaku. Tidak ada yang patut aku sesali karena memang semuanya belum terlambat. Tidak ada kesalahan pada setiap keputusan yang aku buat. Kesalahan adalah penilaian yang muncul kemudian ketika pelaksanaan atau hasil yang tidak sesuai dengan cita-cita atau harapan. Waktu yang telah ditetapkan itu akan tiba, Ngger. Aku sudah dapat diapstikan segera menyusul swargi eyang kalian.”

Kelezatan Bumbu Pecel ada di sini

Raden Mas Rangsang dan Pangeran Pringgalaya membenamkan wajah dalam-dalam. Mereka seperti sedang mengingat sebuah pengajaran yang diterima di bangsal dalam istana. Seorang guru mereka pernah mengatakan, “Perpisahan selalu disertai dengan bayangan suram yang meresahkan, tapi sejatinya, perpisahan bukan seperti itu. Sesuatu yang meresahkan kerap disebabkan oleh kesenangan  atau kenyamanan yang segera berlalu atau sudah berada di ambang kemusnahan. Berpikirlah bahwa kalian akan menemui ajal sebelum matahari terbit. Lalu amatilah, apa ada yang datang menjadi mimpi buruk? Kalian akan setuju denganku bahwa yang datang adalah segala sesuatu yang bersifat kebendaan. Kalian takut tidak lagi mendapakan kesenangan dari berburu, bercengkerama dengan anak atau istri. Kegembiraan ketika berlatih kanuragan atau peperangan pasti tidak akan kalian dapatkan ketika ajal tiba menjelang, Kemudian, setiap ruang dan rumah akan penuh dengan isak tangis kesedihan. Itu adalah kewajaran, tapi kalian harus paham bahwa itu lebih banyak disebabkan munculnya pernyataan tidak ada lagi ini dan itu, tidak akan sama dengan yang dulu, seandainya dan seandainya yang segera datang susul menyusul seperti gelombang segara kidul.”

Seukuran panjang lesatan anak panah, Panembahan Hanykrawati membiarkan dua puteranya membeku dalam pikiran dan angan masing-masing. Rasa nyeri di dalam dadanya mendesak untuk mencari jalan keluar, tapi Panembahan Hanykrawati sekuat tenaga menahannya. “Ini adalah malam yang sangat penting, dan mereka tidak boleh terganggu dengan batuk berat tanpa henti,” batin Panembahan Hanykrawati.

Malam merangkak dan dirasakan begitu pelan oleh tiga orang yang berada di balik dinding halaman.

“Anakmas Pringgalaya,” kata Panembahan Hanykrawati dengan suara lirih, “mungkinkah pengikut Raden Atmandaru sedang merayap di balik gelapnya malam?”

“Kemungkinan itu selalu ada, Ayah,” jawab Pangeran Pringgalaya yang bertanggung jawab pada keamanan kotaraja secara umum. “Kami sudah melakukan segala  yang dibutuhkan untuk menjaga kotaraja.” Pangeran Pringgalaya kemudian menjelaskan bahwa ia telah menyusun pertahanan berlapis dan menerapkan gelar dom sumurup ing banyu.  Termasuk pula menjelaskan kedudukan para petugas sandi yang disebar di berbagai penjuru kota hingga lorong di permukiman. Setiap petugas sudah  mengetahui kedudukan prajurit jaga atau gardu-gardu yang sengaja dikosongkan, dan itu terpahat sangat baik di dalam benak mereka.

Maka dari itu, dari rancangan yang disusun Pangeran Pringgalaya bersama Raden Mas Rangsang,  pengikut Raden Atmandaru benar-benar merasakan kesempitan yang luar biasa. Ruang gerak mereka sangat terbatas. Mereka datang dari berbagai wilayah dan sebagian besar tidak mengenal keadaan kotaraja. Seluruh wawasan mengenai kotaraja, mereka dapatkan dari keterangan kalangan sendiri dan pedagang-pedagang yang yang singgah di kedai-kedai yang tersebar. Para pendukung gerakan ini tidak memperoleh rincian mengenai keamanan kotaraja, termasuk Raden Atmandaru yang sempat mengira bahwa kotaraja akan kehilangan sebagian kekuatan karena teralihkan untuk memperkuat Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Namun, ternyata dua wilayah tersebut cukup mandiri dan terlalu kuat untuk dirobohkan. Oleh karena itu, Raden Atmandaru tidak gegabah melepaskan anjing-anjing hutan yang  kelaparan untuk mengoyak kotaraja dari dalam.

“Kita tidak pernah tahu apa yang sedang disiapkan untuk kita oleh Mataram,” ucap Raden Atmandaru suatu ketika di sisi timur pasar besar.

Ki Sekar Tawang dan Ki Ramapati membenarkan ucapannya.

Sekejap kemudian, Raden Atmandaru bertanya dan ditujukan pada Ki Ramapati, “Apakah Anda belum mengetahui orang yang memegang kendali keamanan kotaraja?”

“Saya banyak mendengar kabar tapi semuanya mengaburkan,” jawab Ki Ramapati, “sebelum pergi menuju Slumpring, panglima keamanan kotaraja adalah Ki Juru Kiting. Namun ketika kembali ke kotaraja, santer orang membicarakan bahwa ada sosok lain yang berada di belakang Juru Kiting. Sulit untuk menguak tabir yang menutup keberadaan orang itu, tapi sepertinya orang-orang yakin dan juga membenarkan bahwa tangan lain yang mencampuri keamanan kotaraja.”

“Lalu, apakah kepala pengawal raja masih tetap dijabat oleh Mas Rangsang?” tanya Ki Sekar Tawang.

“Benar, itu tidak berubah sejak beberapa tahun lalu.”

“Maka, kita pun mendapatkan gambaran,” kata Raden Atmandaru, “kotaraja semakin sulit ditembus karena Ki Juru Martani telah berada di Kepatihan.”

“….serta keberadaan dedemit perempuan yang masih belum kita ketahui jati dirinya,” Ki Sekar Tawang menambahkan.

“Kita akan mengendap untuk beberapa saat,” ucap Raden Atmandaru. Selepas pandangannya mengikuti pergerakan matahari, ia berkata lagi, “Waktu yang dijanjikan untuk kita sudah semakin dekat. Wahyu keprabon, bila kalian dapat melihatnya, serasa sudah berada di jangkauan kita.”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

1 comment

hilman 06/10/2023 at 15:56

buku ke 80 nya sdh terbit kan

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.