Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 81

“Apakah kita sudah dapat beralih ke pembahasan siasat, Pangeran?” tanya Ki Ramapati.

“Saya ingin menyimpulkan akibat pergerakan Ki Sor Dondong serta Ki Garu Wesi di Sangkal Putung, Kiai,” jawab Raden Atmandaru dengan sedikit perubahan di dalam hati karena sebutan pangeran. “Bila kita dapat menilai meski tidak dapat dengan tepat, setidaknya ada setitik lubang yang bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya. Jika demikian, Mataram harus membagi perhatian dan itu…rasanya tidak akan mudah walau Untara berada di dekat mereka.”

Ki Ramapati mengerutkan kening. Ia membenarkan pikiran Raden Atmandaru, tetapi kemudian katanya, “Kedudukan pasukan khusus di Menoreh tidak dapat diabaikan, apalagi dilupakan.”

“Benar, saya tidak pernah mengabaikan kemampuan mereka,” ucap Raden Atmandaru, “tapi dengan kedudukan pasukan Ki Garu Wesi yang berada di sekitar perbatasan Menoreh dengan Sangkal Putung, apakah Mas Jolang berani memberi perintah untuk menghantam langsung Ki Garu Wesi? Mungkin mereka akan mengandalkan nalar tajam Untara untuk memecah perhatian Ki Garu Wesi, tapi sepertinya rintangan-rintangan tetap terpasang secara wajar.”

loading...

“Saya tidak mengerti maksud Pangeran dengan rintangan terpasang secara wajar,” sela Ki Sekar Tawang dengan sedikit penekanan pada kata-kata terakhir.

“Kita dapat menyerang Jati Anom secara mendadak dengan kekuatan tempur tertinggi tanpa harus menambah jumlah pasukan,” tegas Raden Atmandaru.

Kerut kening Ki Ramapati terlihat semakin ketat. Pikirnya, bukankah waktu perburuan sudah semakin dekat?

Raden Atmandaru tidak menunjukkan kesan gelisah atau kebingungan saat mengungkap rencananya yang tersusun rapi di dalam ruang pikirannya. “Ada pedukuhan yang lepas dari pengawasan anak perempuan Ki Gede Menoreh,” kata orang yang menggelari dirinya sebagai Panembahan Tanpa Bayangan itu. “Kita tidak mendengar adanya laporan tentang kekacauan yang disebabkan oleh kematian Ki Gandung Jati. Orang-orang kita yang berada di Randulanang masih melaporkan bahwa keadaan masih terkendali dengan sangat baik. Lagipula, bukankah Simbara masih berada di kotaraja dengan segala kebodohannya?”

Pada titik tersebut, Ki Sekar Tawang mengakui dalam hati bahwa Raden Atmandaru telah memperhitungkan segalanya dengan cermat dan seksama. “Yang dikatakannya benar-benar berada di luar jangkauan nalar seorang tumenggung kecuali Untara, Mas Rangsang dan sedikit orang Mataram,” ucap Ki Sekar Tawang dalam hati.

“Nah,” sambung Raden Atmandaru, “Kiai dapat membayangkan bila semuanya bergerak serentak memukul Mataram. Bukankah itu akan mengguncang bumi yang sedang kita pijak saat ini?”

“Mungkin saya sudah sedikit melupakan keberadaan Ki Ajar Mawanti dan seorang temannya. Benar, Pangeran benar-benar dapat menyimpan senjata ampuh di tempat-tempat rahasia. Mataram pasti terhunjam dan terguncang.”

“Kita akan mengawalinya di Krapyak. Mangesthi akan membuka serangan yang membuat geger di alas Krapyak! Mas Rangsang maupun rubah tua Mandaraka tidak akan menduga yang muncul di sana adalah seorang gadis belia dengan kemampuan setara dengan panglima pasukan kotaraja.”

.”Ki Ajar Mawanti tidak akan tinggal diam bila letusan kecil sudah menjadi api yang merambat,” kata Ki Sekar Tawang.

Raden Atmandaru mengangguk, lalu ucapnya, “Aku akan memberinya ruang untuk melampiaskan dendam. Orang-orang sepertinya sangat membutuhkan kesempatan untuk mengungkapkan segala yang dipelajari dan didalami selama ini.” Raden Atmandaru telah mendengar kabar yang beredar pada golongan tertentu bahwa Ki Ajar Mawanti menahan rasa penasaran untuk menguji kekuatan ilmu Panembahan Senapati. Namun orang yang paling diinginkannya sebagai lawan tanding telah berpulang terlebih dulu, maka bagi Ki Ajar Mawanti tentu tidak menjadi masalah bila berkesempatan menjajal ilmu kanuragan putra Panembahan Senapati.

Dalam waktu itu, Raden Atmandaru merasa bahwa keadaan yang berkembang di bawah permukaan sudah hampir tidak terjangkau oleh akal sehat. Meski pedagang dan petani tetap melakukan kegiatan secara wajar, tetapi kotaraja sesungguhnya menyimpan api di dalam sekam. Setiap jengkal tanah kotaraja hingga pedukuhan terluar hampir selalu ada petugas sandi yang sedang menyamar dari dua pihak. Para prajurit dan peronda tegap berkeliling melakukan pengawasan, walau demikian, orang-orang kebanyakan sama sekali tidak merasakan ada sesuatu yang janggal.

Sejenak kemudian, Raden Atmandaru bangkit lalu tegak menghadapkan wajah ke arah punggung Merapi. Ia berkata-kata dengan nada setengah berbisik pada Ki Sekar Tawang. Setelah menerima beberapa pesan, Ki Sekar Tawang beranjak lalu berjalan menuju sisi timur pedukuhan. Hampir bersamaan, Raden Atmandaru membalik badan, melangkah lebar menuju gerbang barat kotaraja disertai Ki Ramapati yang menyembunyikan wajah di balik penyamaran.

Matahari menanjak semakin tinggi, setelah sejenak singgah di puncak, lalu turun perlahan-lahan seolah sedang merayap di balik tegar Gunung Merapi.

Beberapa saat pun berlalu.

Simbara tampak duduk berhadapan dengan Raden Atmandaru di sebelah kedai kecil yang terletak beberapa langkah dari gerbang kota.

“Simbara,” kata Raden Atmandaru, “aku belum lama mengenalmu dan pula belum banyak tahu tentang dirimu tapi aku adalah orang yang percaya pada kekuatan serta kemampuan anak muda.”

“Saya mendengarkan, Raden,” Simbara berkata lirih dengan kepala menunduk.

“Aku tahu bahwa sesungguhnya di dalam dirimu ada kekuatan hebat yang belum terungkap. Kekuatan yang sangat baik bila digunakan untuk kebaikan Mataram tapi tidak di bawah kekuasaan Panembahan Hanykrawati,” ucap Raden Atmandaru lebih lanjut. “Aku tahu bahwa sebenarnya jauh di dalam hatimu ada keinginan memberi yang terbaik untuk Mataram. Atas pendapat itu, tanpa mengecilkan wibawa Panembahan Hanykrawati, aku ingin memberimu kesempatan yang patut dicoba.”

“Saya tersanjung dengan kata-kata Raden,” sahut Simbara dengan muka memerah. Ia berkata benar bahwa dirinya tersanjung tinggi. Bahkan, untuk waktu sekejap, Simbara berangan-angan untuk dapat menjadi demang di Sangkal Putung. “Bila tidak mungkin, aku akan mencobanya di kademangan lain,” ucap Simbara dalam hati. Pikirannya hampir sampai pada keyakinan bahwa ia bakal dapat mengatasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi sebuah kademangan. Namun, sebelum dapat meraih impiannya, Simbara tahu bahwa Raden Atmandaru akan memberi tugas khusus padanya.

Raden Atmandaru bersikap seolah-olah tidak tahu perubahan pada air muka Simbara yang bersimpuh di depannya. “Simbara,” ucap Raden Atmandaru. “Pada hari dengan matahari bersinar tanpa halangan di bawahnya seperti saat ini, aku yakin engkau telah mengetahui tujuan dari gerakan ini.”

“Saya, Raden.”

“Bagiku, engkau adalah anak panah yang akan dilepaskan pada sasaran yang sangat baik,” kata Raden Atmandaru,”Tapi itu jangan diartikan bahwa kami atau aku sedang mengorbankan dirimu pada serigala liar yang dipiara oleh Mataram. Bukan dan jangan berpikir seperti itu. Yang akan kau perbuat, bida diibaratkan,  adalah serangan senyap pada malam yang gelap. Ketajaman nalarmu akan melapangkan jalan yang sedang kita tempuh.”

“Siap, Raden.”

Terdengar langkah kaki bergeser lalu Ki Ramapati kemudian duduk di samping Simbara.

”Engkau tidak bergerak sendirian karena akan ada pendamping yang dapat membantumu lepas dari jebakan atau pancingan-pancingan yang mungkin akan dijalankan oleh lawan,” lanjut Raden Atmandaru yang kemudian meminta Ki Ramapati melanjutkan penjelasan.

Keris Nagasasra Sabuk Inten

Ki Ramapati mengangguk kemudian menyentuh paha Simbara sambil berkata, “Gerbang kotaraja belum ditutup, demikian juga gardu jaga terdepan Sangkal Putung atau pedukuhan Randulanang jika kita dapat bergerak sebelum matahari terbenam.”

Ucapan Ki Ramapati belum dapat menghentak pikiran Simbara yang masih berkelana, membayangkan kejadian-kejadian yang belum terjadi di depan matanya. Ki Ramapati memejamkan mata sambil menduga kedalaman benak anak muda yang berada di sampingnya. Lalu, kata Ki Ramapati, “Aku sudah mengetahui benturan yang kau hadapi ketika seorang anak muda bernama Sukra menyusup masuk di Randulanang.” Ki Ramapati kemudian menyusulkan nama-nama yang harus diingat oleh Simbara. Di antara nama-nama tersebut adalah Glagah Putih.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.