Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 96

Lelaki berpakaian hitam yang menolak mengenalkan diri – karena merasa harga dirinya lebih tinggi – ternyata tersengat geram ketika secara mengejutkan diladeni gadis yang terkesan tidak tahu kanuragan. Pada jajaran orang-orang yang mendapatkan kepercayaan lebih dari Ki Sekar Tawang, Lelaki ini sudah pasti tergolong sebagai orang yang berkemampuan tinggi. Maka, kegeramannya semakin memuncak setelah dua lurah Mataram benar-benar meninggalkan perkelahian.

“Pengecut! Kadal kemplo!” Makian yang ia tujukan pada pengawal Mataram itu tidak mengubah keputusan mereka. Sebagai puncak pelampiasan, laki-laki itu pun menyambut serangan Kinasih dengan terjangan yang sangat kuat. Ia cepat mencari kelemahan-kelemahan pada tata gerak Kinasih tetapi kecepatan Kinasih membuatnya kesulitan untuk membuat tusukan.

Tiba-tiba pengikut Raden Atmandaru itu meloncat surut ketika serangkum udara panas menyambar dari sepasang telapak tangan lawannya.

“Siapakah kau ini?”

loading...

“Aku hanya orang asing yang kebetulan melewati daerah ini dan tiba-tiba ingin memukul kepalamu,” jawab Kinasih seenaknya.

“Tidak mungkin!” seru lelaki itu, “dua orang itu mengenalmu dan mengikuti permintaanmu.”

“Apakah kau ingin seperti mereka dengan meninggalkan perkelahian ini?” Kinasih melontarkan kata-kata yang semakin memanaskan suasana. “Oh, bukankah engkau ini yang bernama Ki Tangkas Jati? Mari, mari perlihatkan padaku ketangkasanmu!”

“Bajingan!” Tanpa sungkan dan tanpa berpikir, Ki Tangkas Jati segera menarik tongkat pendek dari balik punggungnya.

Kinasih tertawa dengan nada penuh ejekan. Katanya kemudian, “Ya, ya, beginilah jika orang sudah jarang menggunakan otaknya untuk berpikir. Ia kira sudah tidak perlu malu menggunakan senjata melawan perempuan bertangan kosong.”

Gelegak tawa Kinasih pun terdengar panjang, namun pada saat itulah suasana perkelahian semakin mencekam!  Namun tawa itu ternyata menjadi serangan pembuka yang mengerikan. Semakin lama tawanya mengecil lalu berganti nada yang membingungkan! Kadang terdengar lengkingan tinggi yang menusuk pendengaran. Kadang-kadang juga seperti suara serak binatang yang disembelih!

Pada waktu itu, ada perbedaan pada cara bertempur Kinasih dibandingkan dengan ketika melawan Ki Sindur Jombor. Beberapa waktu sebelumnya, Kinasih nyaris tidak memperdengarkan kebisingan yang mampu mengiris hati orang yang melihatnya. Dentuman demi dentuman sering terdengar bila tenaga mereka berbenturan. Maka, sewaktu menghadapi Ki Tangkas Jati, Kinasih seakan-akan telah menjadi orang yang berbeda. Lengkingan panjang yang melesat keluar dari pita suaranya terasa seperti lontaran anak panah yang menembus telinga. Ketika suaranya merendah, maka getaran tenaganya seolah-olah berubah menjadi ombak laut yang mampu menggulung perahu yang berada di atasnya.

Ki Tangkas Jati segera menyesuaikan diri dengan keadaan. Tongkat, yang berhulu lengkung seperti tanduk kerbau, cepat memutari sekujur tubuhnya. Putaran tongkat menimbulkan gaung suara yang  seperti sedang membuat semacam perisai yang melindunginya dari hantaman suara Kinasih. Sekali-kali Ki Tangkas Jati membuat tusukan-tusukan yang cukup menganggu Kinasih hingga gadis itu harus mengelak. Walau demikian, kejutan demi kejutan pun akhirnya membuyarkan perhatian Ki Tangkas Jati. Kinasih mantap meningkatkan kemampuan untuk mengimbangi gelombang serang lawannya. Hingga kemudian, murid Nyi Banyak Patra itu berani menerima hantaman tongkat dengan lengan telanjang tapi dapat membuat tangan Ki Tangkas Jati kesemutan.

Di tengah-tengah perkelahian itu, ketika mereka adu kekuatan, Ki Tangkas Jati tidak melihat adanya perubahan pada wajah Kinasih yang dingin. Hingga ia bertanya-tanya dalam hati, apakah gadis itu tidak mengalami kesakitan seperti dirinya atau sudah mati rasa? Mengapa sedikit pun ia tidak meringis kesakitan atau apa saja yang menggambarkan itu?

Semakin sering tenaga dahsyat itu berbenturan, semakin terasa bagi Ki Tangkas Jati akan kehebatan ilmu musuhnya, Telapak tangannya yang memegang tongkat sering terjalar udara panasyang mampu menyusup hingga membuatnya bergetar kuat. Serangan Kinasih datang bertubi-tubi, tenaganya menghambur seperti deburan ombak menghantam tebing pantai. Raut wajah Ki Tangkas Jati berubah pucat. Rasa bangga pada ilmunya terkikis. Kulitnya meremang saat membayangkan dirinya segera menemui ajal.Dengan loncatan panjang ke belakang sambil memutar tongkat, Ki Tangkas Jati berusaha mengurangi himpitan gelombang tenaga Kinasih.

Tekad Kinasih, ia tidak akan mengendurkan tekanan. Pada saat lawannya melayang di udara, Kinasih menerkam. Ki Tangkas Jati tidak mempunyai waktu untuk mengelak. Satu-satunya jalan baginya adalah menyambut serangan Kinasih dengan ayunan tongkat. Benda tumpul itu memotong udara dari atas ke bawah dengan kepala Kinasih sebagai sasaran. Tampaknya Ki Tangkas Jati berkemauan tiji tibeh, mati siji mati kabeh. Bagian dadanya jelas terbuka lebar dan itu akan terhantam kepalan tangan Kinasih. Namun dalam waktu yang sama, Kinasih juga terancam bahaya yang dapat meretakkan tulang kepalanya.

Satu lengan Kinasih terangkat membendung serangan Ki Tangkas Jati. Lantas dengan cara menakjubkan, tubuh Kinasih bergeser serong tanpa mengurangi daya luncurnya! Pertahanan Ki Tangkas Jati terbuka sangat lebar dan itu ternyata harus dibayar mahal olehnya. Tubuh Ki Tangkas Jati terpental, terguling-guling lalu tergolek tanpa ada denyut jantung lagi. Meski Kinasih sudah cukup banyak menyadap ilmu yang diajarkan Nyi Banyak Patra, tapi tetaplah ia adalah gadis yang belum banyak terlibat dalam perkelahian antara hidup dan mati. Kemenangannya atas Ki Sindur Jombor pun merampas pikirannya sehingga Kinasih kurang waspada menjaga ketepatan memilih waktu untuk menyerang, bertahan atau sekedar mengambil jeda. Sambil menahan sakit pada lengannya yang mungkin terluka pada bagian dalam, Kinasih menarik mayat Ki Tangkas Jati ke bawah pohon pisang. Sejenak kemudian, ia mengatur diri, menata jalan pernapasan ketika debar jantungnya menjadi tidak beraturan. “Oh, hampir saja, hampir saja…,” gumam Kinasih.

Dalam keadaannya itu, terbit gelisah dalam hati Kinasih. “Sebentar lagi Panembahan Hanykrawati akan melewati batas kota. Aku kira seperti itu, lalu Ki Rangga…,” Kinasih berkata dalam hati dengan perasaan aneh saat mengingat Agung Sedayu. Raut wajah Kinasih berangsur-angsur menjadi wajar. Rambutnya yang terurai sebagian telah dirapikan ketika ia merasa cukup memulihkan diri. Setelah mengedarkan pandangan pada sekitar barang sejenak, dengan langkah tertatih, Kinasih bergeser arah seperti pesan Agung Sedayu agar segera dapat bergabung dengan barisan pengiring dari tempat itu.

Matahari beranjak semakin tinggi. Tidak ada mendung berarak yang melintasi udara Mataram.  Sepeninggal Ki Sanden Merti dan dua pengawal Mataram yang diperintahkan melindungi Raden Mas Rangsang, Agung Sedayu membenamkan diri dalam pikiran. Alas Krapyak adalah hutan yang terpisah agak jauh dari kotaraja. Dua tempat itu dibatasi oleh kawasan perbukitan yang dengan sejumlah hutan kecil yang melingkar. “Meski hasil akhir belum dapat aku ketahui, tapi sebaiknya Kinasih patuh pada pesanku. Dua lawan berkemampuan tinggi tentu bukan perkara mudah untuk dilewatinya. Semoga anak itu berkesudahan baik seperti saat menggantikan Raden Mas Rangsang. Memang masih sulit diduga perkembangan yang akan terjadi kemudian karena kemapanan siasat lawan, dan untuk itu, aku harus mempunyai keyakinan dan kepercayaan lebih pada Kinasih seperti….”  Agung Sedayu menghentikan lintasan dalam hatinya dengan segera. Walau sulit, ia harus dapat melakukannya. Pikiran senapati Mataram itu berpikir cepat denagn pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan dalam benaknya. Apakah lawan mempunyai keberanian melakukan penghadangan? Jika seperti itu, sedemikian nekatkah mereka? Apakah pasukan mereka di Gondang Wates sudah bergerak ke arah kotaraja atau menuju tempat lain?

Yang terasa sulit bagi Agung Sedayu adalah ketika bayangan Sekar Mirah dan anaknya muncul di balik pelupuk mata. Bagaimana keadaan mereka? “Seandainya saja Sukra berada di sini,” desah hati Agung Sedayu. Namun yang terpampang di depannya adalah kewajiban mengawal Panembahan Hanykrawati, maka Agung Sedayu harus tetap waspada dan bersiaga penuh. Sesekali Agung Sedayu melemparkan pandangan pada hamparan hijau persawahan yang mengapit jalan utama. Begitu sunyi. Selain itu, nyaris tidak ada tanaman yang dapat dijadikan pelindung dari pemangsa yang sedang bersembunyi dari balik pohon di seberang sawah. Keadaan itu seolah-olah sudah menjadikan Panembahan Hanykrawati sebagai sasaran empuk.

Beberapa waktu kemudian datanglah orang-orang yang diperintahkan menyusul Raden Mas Rangsang. Mereka melaporkan segala yang terhubung dengan keadaan terakhir serta perkelahian yang melibatkan Kinasih, Agung Sedayu mengangguk. Sorot mata lega memancar darinya. Namun hingga pada waktu itu, ia belum melihat Ki Sanden Merti masuk ke dalam barisan. Maka Agung Sedayu kembali memberi perintah, “Saya minta Ki Sanak berdua segera kembali ke tempat perkelahian. Periksalah sekitarnya, lalu kabarkan  pada saya bila Ki Sanak sekalian mengetahui sesuatu yang janggal.”

Mereka berdua cepat berbalik arah tanpa bertanya-tanya lagi. Mereka sudah paham maksud Agung Sedayu ; keselamatan Kinasih memang menjadi perhatian pemimpin pasukan khusus itu, tapi keberadaan Ki Sanden Merti adalah sesuatu yang lebih penting.

Setiba di tempat yang dimaksud Agung Sedayu, di salah satu pekarangan pada sebuah pedukuhan, dua utusan Agung Sedayu tampak sibuk dengan sinar mata bertanya-tanya.

“Memang mungkin saja Kinasih mengambil jalan lain agar dapat kembali pada iring-iringan. Tetapi, aku pikir kita masih belum tuntas mengumpulkan bahan yang mungkin berguna sebagai laporan pada Ki Rangga,” kata salah satu lurah Mataram. “Atau kita salah jalan?”

“Kita tidak salah jalan,” berkata kawannya. “ Kita pasti berpapasan dengan Kinasih jika ia menempuh jalan yang sama dengan keberangkatan tadi, tapi aku belum menemukan jejak kaki baru.”

Mereka berjalan berkeliling di sekitar tempat bekas perkelahian Kinasih melawan Ki Tangkas Jati.

“Hei!” seru lurah yang berjuluk Ki Baya Aji sambil menunjuk salah satu tempat.

Secepat kijang, mereka pun tiba lalu menyibak daun-daun pisang.

“Kinasih selamat! Pamuji Gusti,” ucap Ki Baya Aji setelah melihat tubuh tak berdaya itu adalah orang yang bertempur melawan Kinasih,

Kelegaan juga memancar dari wajah temannya lalu orang ini segera memeriksa permukaan tanah untuk mencari jejak. Kemudian katanya, “Jejak kaki ini, semoga benar, adalah jejak Kinasih… seperti sedang menuju ke sana.” Ia menunjuk dengan ibu jarinya. Berdua pun segera melesat deras untuk memastikan kelanjutan jejak kaki itu sambil menimbang keberadaan Kinasih.

Lalu kata Ki Baya Aji, “Ki Anjangsana. Sebaiknya satu dari kita yang mengikuti jejak ini.”

“Kita berdua sudah disergap bersamaan, saya kira masih ada kemungkinan terjadi pengulangan, Ki Lurah,” ucap ki Anjangsana.

“Ada benarnya,” gumam Ki Baya Aji.

“Bukankah kita ditugaskan Ki Rangga hanya untuk memeriksa? Sebaiknya kita laporkan dulu pada beliau,” kata Ki Anjangsana.

Mendengar pendapat Ki Anjangsana, Ki Baya Aji bernapas panjang. Kewajiban mereka bukan menyelamatkan Kinasih atau mencari keberadaan Ki Sanden Merti. Lingkup perintah bagi mereka  adalah melaporkan hasil pengamatan saja. Dalam waktu itu, lingkungan sekitar mereka terlihat begitu tenang. Seakan-akan perkelahian hebat yang baru saja terjadi sama sekali tidak menarik perhatian penduduk atau petani yang tinggal di dekatnya. Dan pula, Ki Sanden Merti tidak meninggalkan tanda-tanda pernah berada di tempat itu. Lantas lurah Mataram itu mengangguk setuju. Segeralah mereka berdua kembali pada kedudukan Agung Sedayu.

Agung Sedayu, murid tertua Kiai Gringsing yang belum mendapatkan kembali kitab gurunya,  mengetahui kedatangan dua lurah Mataram dari samping kanan iring-iringan. Dari raut wajah dan bahasa tubuh mereka, Agung Sedayu segera tahu bahwa Kinasih selamat dari perkelahian. Selanjutnya, suami Sekar Mirah itu menunggu mereka mengatakan serba sedikit dari yang mereka lihat.

Apakah Ki Sanden Merti terlibat dalam rencana pembunuhan yang gagal terhadap dua lurah Mataram itu? Apakah orang ini juga kepanjangan tangan dari Raden Atmandaru? Apakah benar-benar mengejar lalu melindungi Raden Mas Rangsang yang sedang memburu Ki Sekar Tawang? Satu bahaya sedang mengancam keselamatan pangeran Mataram itu bila Ki Sanden Merti dapat menyusulnya, pikir Agung Sedayu. Permasalahan baru terbentang di hadapannya seandainya Ki Sanden Merti termasuk kaki tangan pemberontak. Bahkan senapati pasukan khusus itu seakan-akan melihat bayangan kelam bila sesuatu yang buruk kemudian menimpa Raden Mas Rangsang.

Dua lurah Mataram beringsut surut dalam keadaan diam tanpa bicara satu sama lain. Mereka sedang menunggu perintah selanjutnya dari Agung Sedayu selaku senapati yang berkedudukan khusus di samping Pangeran Selarong.

Seperti ada yang mengabarkan tentang sesuatu sedang terjadi pada barisannya, Pangeran Selarong berpaling ke belakang, kemudian menepi lalu menunggu sampai kuda Agung Sedayu sejajar dengannya.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 97

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 93

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.