“Ribuan manusia atau ratusan ribu manusia pun mirip dengan bintang-bintang yang kita lihat sekarang. Masing-masing dari kita mempunyai ukuran atau landasan yang berbeda ketika menilai sesuatu, berbeda ketika memutuskan sikap terhadap sesuatu dan sebagainya. Sebagian dari kita merasa gembira dengan segala yang ada di sekitarnya. Namun, ada pula yang terus menerus berduka dengan perkembangan atau perubahan yang terjadi di dalam kehidupannya. Untuk keadaan atau menjawab pertanyaan tadi, sebenarnya ada di dalam diri kita masing-masing.”
“Kehidupan adalah nyala dari sebuah obor. Kehidupan adalah cahaya matahari pagi. Kehidupan adalah senja yang mengendapkan segala perasaan,” suara tanpa wujud tiba-tiba terdengar jelas me-masuki pendengaran mereka berdua. Sekejap kemudian, Pangeran Tawang Balun berdiri di depan mereka dengan keagungan pribadi yang melekat padanya. Rambut panjang Pangeran Tawang Balun berkeriap melambai-lambai tertiup angin malam yang datang dari arah buritan. Sepasang kakinya ter-lihat tidak menyentuh pasir putih yang basah. Melayang? Gagak Panji membuat perkiraan tetapi itu adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Pesona Pangeran Tawang Balun lebih cepat dan hebat menyergap nalar budi dua perwira tinggi itu. “Cahaya membuat bayangan yang berbeda dari waktu ke waktu. Setiap kali kalian bergerak, bayangan akan beralih, lalu cahaya? Setiap kali cahaya bergeser, bayangan akan berubah, lalu kalian?”
“Eyang,” kata Gagak Panji dan Ki Prabasena bersamaan.
“Apakah engkau sedang didera gelisah bila besok adalah hari pertemuan yang diagung-agungkan oleh para prajurit, Gagak Panji?”
“Diagung-agungkan? Bagaimana itu terjadi sementara malam belum berlalu?” tanya Gagak Panji membatin.
“Hampir seluruh prajurit Demak dan Blambangan, termasuk para senapati dan panglima benar-benar berharap tidak terjadi perubahan untuk harapan mereka.”
“Eyang, saya tidak mengerti.”
“Gagak Panji, menghadapi paman sendiri di dalam pertempuran memang bukan hal biasa. Bukan peristiwa biasa yang dapat berulang setiap saat. Perjalanan panjang hidup manusia selalu memberi ruang dan waktu agar kita dapat membuka lembaran demi lembaran tentang pertempuran, tentang siasat dan segalanya. Besok, Raden Trenggana dapat menjadi lawanmu. Lusa, dia pun dapat kembali menjadi musuh berat bagimu. Itu semua mempunyai kemungkinan untuk terjadi selama kalian berada pada pihak yang berseberangan. Gagak Panji. Jika engkau dapat melewatkan pertearungan itu, mungkin, kelak, Arya Penangsang yang akan menjadi lawan Trenggana.”
Ki Tumenggung Prabasena melirik pada Gagak Panji dengan keadaan wajah yang sama-sama menunduk. Pikir Ki Tumenggung, Eyang Tawang Balun benar. Perselisihan selalu ada selama mereka tetap memilih jalan yang berlawanan.
“Besok adalah hari yang tidak mempermasalahkan siapa yang terbunuh, tetapi harus dapat engkau tempatkan sebagai waktu yang tepat untuk menggugah kesadaran Raden Trenggana. Pada masa sekarang, siapa yang berani menyangkal pendapat pamanmu? Siapa yang berani menentang kemau-annya? Aku tidak bermaksud memujimu atau orang lain selainmu, tetapi Arya Penangsang adalah salah satu penantang tangguh. Arya Penangsang mempunyai segala yang dibutuhkan untuk mengembalikan tahta. Di dalam kesunyian malam, jika engkau benar-benar mendengarkan senandung bening suara hati, apakah engkau dapat tidur nyenyak? Tidak perlu kau jawab itu, hanya saja, Gagak Panji…engkau perlu tahu bahwa Raden Trenggana pun tak akan dapat meninggalkan kenyataan walau di dalam mimpi.
“Majapahit telah runtuh sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Majapahit telah berlalu meninggalkan kita agar dapat merenung bersama waktu. Di sini, aku anggap bahwa Raden Trenggana kehilangan kendali diri. Sangat sulit baginya untuk mengulang kembali segala pencapaian leluhurmu di masa lalu. Adalah kebodohan yang sangat terang dilakukannya melalui banyak pertempuran untuk menancapkan taring kekuasaan. Bodoh dan benar-benar sangat bodoh.”
“Apakah ada jalan lain, Eyang?” Gagak Panji lirih bertanya.
“Pelepasan diri adalah cara terbaik.”
“Kami ingin lebih lama menyimak penjelasan Eyang dan pertempuran hari ini dapat ditunda bila perlu. Saya pikir Hyang Menak dan Mpu Badandan tidak akan mempunyai keberatan jika itu memang terjadi,” kata Ki Tumenggung Prabasena kemudian.
Pangeran Tawang Balun menatap wajah Ki Tumenggung Prabasena setajam elang. “Katakan.”
“Eyang, Hyang Menak dan Mpu Badandan adalah dua orang yang teguh menjalankan pesan dari Eyang. Menghindari pertempuran sekeras mungkin, jadi, apabila Ki Rangga Gagak Panji tidak bergegas memperlihatkan kesiapan maka beliau berdua akan merasa longgar. Saya katakan seperti itu karena beliau sekalian lebih cenderung untuk membuka perundingan damai.”
“Memang seharusnya demikian, namun Raden Trenggana bukan orang yang mudah dilenturkan.”
Gagak Panji lantas berkata, “Benar.” Ia menghela napas panjang dan cahaya muram terbit dari wajahnya. Kemudian lanjutnya, “Eyang, apakah ada jalan lain bagi paman untuk mencapai tujuan?”
“Kita tidak pernah tahu tujuan sebenarnya, tujuan yang benar-benar mungkin masih bersembunyi di dalam ruang-ruang hatinya. Kita tidak tahu, Gagak Panji. Tetapi, bila pamanmu bertujuan mendirikan Demak Raya atau kemegahan, dan meraihnya dengan cara yang keras, sekali lagi, aku harus katakana bahwa ia adalah orang yang bodoh. Raden Trenggana tidak dapat membedakan antara ketamkan dan kebodohan itu sendiri. Namun agar tetap berada pada arah kejayaan dan kemakmuran, maka mengendalikan negeri manca memang dapat menjadi rencana yang baik.”