Raden Trenggana meninggalkan biliknya, melayang lalu mendarat di sisi pengintai yang berada di depan anjungan. “Gagak Panji,” desis Raden Trenggana.
“Kami menunggu perintah,” kata senapati pengintai kemudian.
“Seorang diri,” lirih Raden Trenggana berucap. Gagak Panji tidak berteman dengan lelembut penunggu perairan, jadi, mustahil ia sedang kerasukan dedemit. Sepengenalannya pada diri Gagak Panji, Raden Trenggana menilai Gagak Panji adalah senapati cerdas – yang sudah pasti – telah menyiapkan siasat cadangan yang dapat mencegah angkatan perang Demak mendarat di pantai Panarukan. Sebaris kapal-kapal perang Blambangan tampak berada di belakang Gagak Panji, tetapi itu jarak yang cukup jauh. Lontaran batu api akan melampaui Gagak Panji jika ditembakkan karena senapati Demak yang membangkang itu tidak berada di dalam jangkauan tembak batu-batu api. Namun, batu-batu api juga tidak akan mampu mengenai sasaran bila ditujukan pada barisan kapal perang Blambangan, itu juga terlampau jauh.
Mungkinkah ini akhir dari pertempuran di atas perairan Blambangan? Raden Trenggana tidak dapat memastikan karena ia juga menduga bahwa kehadiran Gagak Panji adalah tanda datangnya badai yang buruk. Sejenak raut wajah Raden Trenggana menjadi muram. Cukup baginya untuk merasakan kesedihan dengan pembangkangan Gagak Panji. Sebagian rencana dan harapan menjadi berantakan. itu. “Tak mungkin berkata mundur,” keluhnya dalam hati. Raden Trenggana telah terbiasa dengan keadaan-keadaan yang berbahaya dan sering terikat dengan peristiwa-peristiwa yang mengancam keselamatannya, namun, kali ini, ia merasakan sesuatu yang lain. Gagak Panji bukan ancaman. Gagak Panji bukan pembunuh bayaran yang menginginkan banyak hadiah untuk kepalanya. “Apakah aku sedang merasa gentar atau takut bila nantinya ia akan mempermalukanku di denpan ribuan prajurit?” bertanya Raden Trenggana pada hatinya sendiri.
Dalam waktu itu, kekerasan hati Raden Trenggana seolah lumer dengan kehangatan sinar matahari. Suasana hatinya sedikit mencair, lalu terbersit niat untuk menawarkan jalan damai melalui perundingan. Raden Trenggana mempunyai pertimbangan lain berdasarkan perkembangan terbaru yang diterimanya dari laporan-laporan duta yang bekerja di darat ; sejumlah wilayah menyatakan tunduk pada Demak. Seharusnya itu sudah cukup sebagai bahan untuk mengakhiri perang, pikirnya. Namun, adakah jaminan keamanan dari Blambangan bila ia mengibarkan bendera gencatan senjata? Di mana perundingan akan dilakukan? Di atas kapal perang atau di bibir pantai? Tidak ada yang menguntungkan bagi Demak karena mereka menjadi tamu di tanah Blambangan. Keunggulan jumlah gugus tempur di laut tidak akan berarti bila mereka bergeser ke daratan.
Nantikan kelanjutan kisah Pangeran Benawa di dalam Arya Penangsang - Pangeran Senja
Serangkaian perubahan dilakukannya dan sebagian sudah berlalu dengan hasil sesuai yang diinginkannya. Raden Trenggana telah menyalakan api yang berlainan dengan Adipati Unus. Kayu-kayu telah patah berkeping dan menjadi bara yang belum dapat dikatakan padam. Asap masih menyusup keluar dari celah-celah sempit rumah-rumah berdinding papan. “Gagak Panji adalah Gagak Panji. Ia seorang prajurit. Aku tidak boleh menempatkannya sebagai keluarga dalam pertempuran ini,” batin Raden Trenggana. Terasa pedas mata Raden Trenggana setiap kali pandangannya bertumbuk dengan Gagak Panji yang masih berdiri tenang di tengah lautan.
“Dulu aku sering bertengkar dengannya tentang sebuah siasat atau gerakan. Sekarang, aku benar-benar harus menghadapinya sebagai seorang senapati,” ucap lirih Raden Trenggana.
“Raden dapat menunjuk seseorang untuk menggantikan kedudukan itu,” kata Ki Rangga Wilayudha, senapati pengintai.
“Lalu berapa banyak senapati Demak yang akan hancur di tangan orang-orang Blambangan?” sahut Raden Trenggana. “Ki Rangga, kita tidak sedang membuka hutan untuk membuat sawah-sawah baru. Kita tidak sedang merintis perdagangan dengan orang-orang dari seberang. Yang aku bicarakan adalah kejayaan yang lebih dari sekedar perdagangan atau sesuatu yang baru engkau kenal.”
Matahari terlihat tenang mengapung di angkasa. Sepertinya ia sedang menunggu peristiwa yang ajaib yang membuahkan keagungan hingga mencapai kaki langit. Pada saat itu, segala keindahan dan kehangatan berangsur-angsur luruh ke dalam kerangkeng besi yang gelap dan dingin. Burung-burung laut seolah tidak mempunyai daya untuk menyanyikan lagu-lagu nyaring bernada gembira. Kepak-kepak sayap mereka seolah tahu bahwa mereka harus menjauh dari hamparan air yang memisahkan Gagak Panji dan Raden Trenggana.
Ribuan orang memberi perhatian penuh pada detak perkembangan yang terpusat pada dua senapati mereka. Sebagian orang berharap Raden Trenggana dapat menghancurkan kekuatan perang Blambangan. Sebagian justru tidak ingin gesekan dua orang itu meningkat lebih tajam dan mereka punya alasan kuat untuk harapan itu. Ya, mereka masih menggantungkan keinginan bahwa salah satu dari mereka akan melunak dan perang dapat diubah menjadi jalan damai.