“Ki Rangga,” sambut Sabungsari lalu memberi tempat bagi Agung Sedayu untuk berdiri di sampingnya.
“Perintahkan mereka untuk mundur,” kata Agung Sedayu pada lurah muda Mataram.
Sabungsari pun beringsut mundur lalu memerintahkan anak buahnya untuk menarik diri. Perintah yang disambut dengan tatapan mata enggan. Peronda Mataram tidak ingin meninggalkan Agung Sedayu sendirian bersama dua orang yang berbahaya. Meski hati mereka ingin menyelamatkan diri dengan mematuhi perintah namun meninggalkan seorang pemimpin di tengah laga adalah pantangan.
Menyadari kekerasan hati peronda, Sabungsari berkata, “Semakin lama kita berada di sini, percayalah bahwa itu justru memberatkan beliau.”
“Tetapi kami bukan pengecut, Ki Lurah,” ucap seorang prajurit ronda.
“Aku paham,” tegas Sabungsari menjawab, “mundur adalah perintah beliau. Dan mundur bukan kekalahan tetapi kemenangan di waktu yang berbeda.”
Seseorang menarik bahu prajurit yang mencoba melawan perintah, katanya, “Kita adalah sekumpulan lalat. Marilah, patuhi Ki Rangga!”
Orang-orang Jati Anom pun bergeser surut, meninggalkan Agung Sedayu dengan hati sedih. Mereka kembali menyusuri jalanan lembab dan gelap menuju pedukuhan. Kesuraman malam serasa menambah kelam perasaan mereka. Pikiran peronda berjalan tak terarah membayangkan peristiwa menakutkan yang mungkin menimpa Agung Sedayu. Suara burung gagak semakin menambah kelam pada mereka.
Dalam waktu itu, Ki Hariman berseru, “Agung Sedayu.” Ia mengembangkan senyum kemudian memalingkan muka sambil berkata, “Belum berhenti engkau mengejar kitab itu.”
“Aku tidak datang untuk benda yang kau pegang.” Agung Sedayu dengan satu loncatan ia menerjang Ki Garu Wesi. Kedua lengannya mengembang dengan tendangan samping mengarah leher lawan. Pada saat itu Ki Garu Wesi menggaungkan tawa mengerikan. Tidak biasanya ia mengeluarkan lengking tinggi yang menyakitkan bagian dalam pendengaran. Dedaunan bergetar. Ia menyambut tendangan Agung Sedayu dengan cara yang sama.
Sepertinya benturan tidak dapat dihindari!
Tiba-tiba Agung Sedayu memutar kaki ketika tubuhnya masih melayang. Ia menyapu bagian betis Ki Garu Wesi.
“Gandrik!” umpat Ki Garu Wesi. Ia tidak dapat mengelak hantaman keras kaki senapati Mataram. Tubuhnya terpelanting namun ia mampu menyentuh tanah dengan tubuh tegak.
Kemudian kata Ki Garu wesi, “Agung Sedayu, aku tidak ingin memperpanjang permusuhan denganmu untuk malam ini. Meski tenagaku belum terkuras tetapi aku ingin mengulang keadaan ini di waktu lain. Engkau tahu maksudku.”
“Selamat tinggal,” ucap Ki Hariman tiba-tiba, lalu tubuhnya menghilang dalam pelukan malam yang suram.
Selagi ia mendengarkan Ki Garu Wesi, Agung Sedayu seolah kehilangan daya untuk menghentikan Ki Hariman. Meski demikian, sebenarnya ia juga mempunyai pertimbangan lain yang lebih besar dari kitab Kiai Gringsing.
“Aku bukan orang yang mudah mengingkari janji,” susul Ki Garu Wesi, lalu ia meninggalkan tempat dengan berlenggang kaki tanpa menunggu tanggapan Agung Sedayu. “Menetaplah di sini jika kau mau, Agung Sedayu. Selagi kedatanganmu selalu membawa kesulitan bagi orang lain di tempat lain, aku sarankan agar engkau menginap di sini.”
“Aku tidak peduli,” tukas Agung Sedayu. “Aku turut pergi bersama kalian.”
Ki Hariman telah jauh meninggalkan mereka. Akan menyusul Ki Garu Wesi berlalu dari tempat itu, tetapi Agung Sedayu telah menghadangnya. Dalam waktu itu Ki Garu Wesi menyangka bahwa ia akan terlibat perang tanding melawan senapati pasukan khusus, namun melihat sikap Agung Sedayu yang berdiri dengan cara biasa, ia pun menjadi penasaran.
“Tentu engkau mengira aku menantangmu berkelahi, bukan?”
Ki Garu Wesi hanya mendengus.
Agung Sedayu melanjutkan ucapannya, “Apakah engkau terlalu pintar dengan meninggalkanku sendirian?”
“Cerdas,” sahut Ki Garu Wesi.
“Pergilah,” kata Agung Sedayu, “sampaikan salam untuk majikan kalian. Katakan padanya,ada jalan landai untuk mencapai tahta Mataram.”
“Apa maksudmu?”
“Aku pikir engkau cukup pintar untuk mengartikan itu pada orang yang kalian sebut Panembahan Tanpa Bayangan.”
Masam wajah Ki Garu Wesi meskipun ia telah menduga namun tidak pernah mengira bahwa Agung Sedayu dapat berkata ketus. “Pasti bukan kebetulan dengan kedatanganmu di sini. Sebagai seorang senapati pilih tanding dan mumpuni, rencana seolah telah menjadi bagian dari detak hidupmu.”
Agung Sedayu mengibaskan tangan. Katanya, “Engkau tidak terlalu cakap untuk mengalihkan perhatian, Ki Sanak. Dan, baiklah, aku segera pergi dari hadapanmu. Selamat malam.”