“Benarkah itu?” seru lurah prajurit tidak percaya. Di tengah desing dan sambaran senjata, ia berkata, ”Aku menyesal telah mendengarkanmu, Anak Muda. Aku benar-benar terperdaya oleh sikap manismu, maka sebaiknya kau persiapkan diri untuk menghabiskan sisa waktu di tepi telaga ini!” Lurah prajurit itu lantas mengibaskan pedang pada Toh Kuning yang masih mencoba untuk menjelaskan persoalan.
Sebenarnya Toh Kuning enggan untuk bertempur melawan prajurit Kediri, namun ia teringat Ken Arok dan rencana yang telah mereka susun.
“Aku tidak mungkin menyimpang kesepakatan dengan Ki Ranu Welang. Aku tidak mungkin dapat mengecewakan Ken Arok,” pikir Toh Kuning lantas membalas serangan lurah prajurit dengan setengah hati.
Sambil berloncatan menyerang Toh Kuning, lurah prajurit itu terlihat benar-benar kesal lalu berkata lantang, ”Anak Muda, kau akan menyesali keputusanmu dengan membela orang-orang Ki Ranu Welang. Mahesa Wunelang pasti memberimu kesempatan jika kau mundur dari kekacauan ini!”
Lurah prajurit,sebelumnya, mempunyai kesimpulan sementara jika kedudukan pasukannya akan menjadi baik apabila ia dapat menghadapi orang bertubuh kurus, kini ia ragu-ragu karena Toh Kuning selalu menghalangi pergerakannya mendekati prajurit lain. Pada saat itu pengikut Ki Ranu Welang berkelahi dengan garang sambil mengeluarkan kata-kata kasar. Benturan itu membuka mata prajurit Kediri bahwa kawanan yang mereka hadapi ternyata mampu menggunakan senjata dengan baik. Bahkan lurah prajurit itu sendiri kagum dengan keteraturan kawanan Ki Ranu Welang saat menerapkan siasat yang diteriakkan oleh orang bertubuh kurus.
Meskipun jumlah prajurit Kediri lebih sedikit daripada lawannya, tetapi mereka adalah orang-orang yang setiap hari selalu berlatih perang dengan berbagai siasat dan susunan gelar. Dengan begitu, sekalipun kawanan penyamun mampu bertempur berpasangan namun prajurit Kediri dapat mengimbanginya dengan gelar perang yang terus menerus berubah sesuai perintah pimpinan mereka.
Perkelahian semakin sengit. Orang-orang yang berada di dalam lingkaran maut mulai bersimbah darah, meski belum ada yang tumbang.
Setiap orang mempunyai tujuan yang berbeda walaupun mereka terikat pada satu kelompok yang sama. Ada prajurit yang bertempur mati-matian untuk kenaikan pangkat dan nama baik, ada pula yang berkelahi karena ingin mempertahankan hidup, ada pula yang mengangkat senjatanya demi keamanan bersama.
Begitu pula yang terjadi di dalam kelompok Ki Ranu Welang. Meskipun mereka semua adalah orang-orang yang seringkali berbuat jahat, namun tindakan mereka juga diawali dengan tujuan yang berbeda. Di antara mereka, ada yang berbuat jahat karena menginginkan kemuliaan. Ia mengukur keberhasilan berdasarkan hasil yang diperoleh. Ada juga yang berbuat jahat karena ia tidak memiliki keterampilan lain selain merampas dan membunuh.
Maka, dengan demikian, perkelahian orang-orang itu mempunyai tujuan akhir yang berbeda satu sama lain. Mereka berhadapan untuk saling mengalahkan. Memperjuangkan kepentingan masing-masing dan keyakinan yang mereka sebagai kebenaran tertinggi
Sementara itu, Toh Kuning berkelahi menghadapi lurah prajurit dengan perasaan gamang. Pada dasarnya ia telah yakin dan percaya jika para prajurit itu bukanlah musuh sebenarnya, selain itu Toh Kuning juga tidak ingin membunuh walau terpaksa. Tetapi kenyataan yang ia hadapi pada malam itu membuatnya harus segera mengambil keputusan berat.
“Oh, andai saja perkelahian ini dapat dihindari,” keluh Toh Kuning dalam hatinya. Kegamangan yang melanda hati Toh Kuning membuatnya lengah hingga pada satu kesempatan ia harus berkelahi dengan lambung yang tergores pedang.
“Mengapa kau menjadi ragu-ragu?” lurah prajurit itu bertanya.
“Kalian bukanlah orang-orang yang pantas untuk dibunuh!” Toh Kuning menjatuhkan tubuhnya dan bergulingan menjauh dari kejaran pedang lurah prajurit. “Dasar kalian! Cupat pikiran!” Umpatan Toh Kuning ditujukan pada pengikut Ki Ranu Welang. Ia benar-benar geram pada mereka.
“Sudahlah. Keluarkanlah senjatamu atau kau akan ditinggalkan sebagai mayat tidak dikenal di hutan ini.” Lurah prajurit menutup bibirnya dan mencecar Toh Kuning dengan ujung pedang yang seolah berjumlah belasan. Satu rangkaian gerak yang sangat cepat dan benar-benar merepotkan saudara seperguruan Ken Arok ini.
Menyadari keadaannya yang kian terdesak, Toh Kuning menambah kecepatan selapis demi selapis mengimbangi lurah prajurit yang semakin kuat dan cepat.