Lembu Jati ternganga karena gerakan Arya Penangsang yang di luar perkiraan. Sekejap kemudian dia tampak berpikir keras mencari jalan menghentikan perjalanan Arya Penangsang. “Bila dia tiba di Demak tepat waktu, maka segalanya pasti terbuang sia-sia,” katanya dalam hati. Didorong oleh kegelisahan yang semakin memuncak, Lembu Jati pun memaksa diri turun ke gelanggang! Satu-satunya cara untuk memperbaiki kesalahan atau menutup kegagalan membungkam Arya Penangsang di pedukuhan adalah dengan membunuhnya saat ini!
Dengan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya, Lembu Jati melabrak Arya Penangsang dengan pikiran terbakar. Ledakan tenaganya terasa begitu hebat hingga menggetarkan permukaan tanah yang dipijak olehnya. Ini sesuai dengan dugaan Arya Penangsang, lagipula dia memang menunggu pengintainya menampakkan diri!
Lembu Jati, dengan kecepatan tinggi, menyerang lambung Arya Penangsang dengan tendangan beruntun.
Secara mengejutkan, Arya Penangsang menghindari serangan dengan cara ajaib. Meski demikian, Lembu Jati tidak memberinya kesempatan untuk menata diri melakukan serangan balik. Lembu Jati merangsek dengan pukulan mengarah pada dada Arya Penangsang. Gerak kaki Arya Penangsang bergeser, berputar setengah lingkaran, dan terkadang seolah langkahnya terputus ketika harus meloncat mengelak dari hantaman demi hantaman lawan yang sangat deras mengalir. Rentetan pukulan yang diikuti desing udara tajam cukup merepotkan Adipati Jipang.
Baik Arya Penangsang maupun Lembu Jati seakan sama-sama terlihat menahan diri untuk tidak langsung menghentak puncak ilmu masing-masing. Dalam benaknya, Lembu Jati ingin membuktikan bahwa ketangkasannya berolah kanuragan adalah kesatuan yang berpadu dengan tenaga intinya yang sudah menjulang tinggi.
Sedangkan pada sisi lain, yaitu Arya Penangsang, dia mempunyai alasan tersendiri dengan tidak segera mengeluarkan ilmu-ilmu sakti yang dimilikinya. Barangkali, orang ini dapat menyadari sepak terjangnya lalu bicara baik-baik, demikian yang menjadi harapan Arya Penangsang. Arya Penangsang belum mengenalnya, apalagi melihat wajah atau rupa Lembu Jati sehingga pertanyaan yang muncul dalam benaknya adalah ; apa kaitan Lembu Jati dengannya? Apakah dia juga mempunyai peran yang dapat dikaitkan dengan penikaman pamannya, Raden Trenggana?
Sejak perkelahian hebat itu berlangsung, Ki Ajar Wit Sunsang dan Nyi Poh Gemrenggeng memperhatikan dari tepi lingkaran dengan keringat tipis membasahi kening masing-masing. Apakah mereka tetap melanjutkan serangan atau lebih baik berhenti bila dua raksasa sudah bertarung? Meski di dalam hati masih tegak keyakinan bahwa kemampuan mereka tidak berada di bawah Lembu Jati, tapi gebrakan pertama Arya Penangsang seakan memberi tanda agar mereka tidak berulah. Sejenak mereka bertukar pandang dan sepertinya akan turut menyerang dengan lebih berhati-hati. Demikianlah, mereka berdua bergerak nyaris bersamaan. Serangan mereka tidak kalah tajam dengan Lembu Jati. Merasa yakin telah mempelajari susunan gerak Arya Penangsang, mereka mengurung lawan seperti sekawanan serigala yang sedang menyudutkan mangsa.
Nagasasra dan Sabuk Inten
Ki Ajar Wit Sunsang dan Nyi Poh Gemrenggeng berloncatan memotong arah pergerakan Arya Penangsang. Namun, lagi-lagi, di luar dugaan, Arya Penangsang selalu mempunyai jalan keluar. Rangkaian serangan yang digencarkan oleh tiga orang itu terlihat seperti perpaduan tangan-tangan maut yang menggetarkan hati. Ditambah dengan Arya Penangsang yang masih lebih banyak menahan diri, maka seakan-akan perkelahian tidak berlangsung seimbang bagi orang yang melihat.
Meski tidak seperti itu pada kenyataannya!
Arya Penangsang, begitu luar biasa, menggeser kaki dengan cara berputar-putar. Kadang dia seakan membuat garis sepertiga lingkaran, kadang-kadang setengah lingkaran, dan tak jarang Arya Penangsang memutar penuh tubuhnya untuk menuntaskan gerakan menghindar. Maka, meski masih belum kerap melakukan serangan balik, Arya Penangsang sanggup membuat Ki Ajar Wit Sunsang berjungkir balik dan terguling karena mengikuti gerakannya yang aneh.
“Ini perbedaan yang sangat nyata. Sungguh!” seru Lembu Jati dalam hati. “Kecepatan Arya Penangsang tiba-tiba berkurang tapi… sungguh… semakin sulit mendekatinya. Hmmm, bagaimana mungkin ini dapat terjadi?” Dia berkelebat agak menjauh dengan tujuan mengamati dasar gerakan Arya Penangsang yang sedang dilibat sangat erat oleh Nyi Poh Gemrenggeng dan Ki Ajar Wit Sunsang.
Namun hampir bersamaan dengan Lembu Jati yang mengambil kedudukan di sisi luar lingkar perkelahian, Ki Ajar Wit Sunsang kehilangan keseimbangan. Orang bayaran ini terdorong jatuh oleh hempasan tubuhnya sendiri ketika gagal menerkam Arya Penangsang. Sekejap kemudian, dia berusaha bangkit tapi Adipati Jipang cepat memutus rangkaian gerak lawan dengan pergeseran langkah yang gemilang. Gerakan itu mampu menutup ruang gerak Ki Ajar Wit Sunsang sehingga orang ini harus melemparkan tubuh ke samping lalu bergulingan menjauh. Nasib baik! Arya Penangsang tidak memburunya!
Ki Ajar Wit Sunsang pun lantas berdiri dan berusaha tegak dengan mata menyalang, perasaannya meradang, napasnya memburu seperti binatang jalang. “Gandrik! Semudah itu aku dipermalukannya!” geram Ki Ajar Wit Sunsang. Terbungkus rasa malu yang luar biasa karena jatuh bagaikan daun kering atau murid dari perguruan kecil, dia tidak lagi menilai pertarungan tangan kosong itu sebagai jalan untuk membunuh Arya Penangsang. Dia harus segera mengakhirinya. Sewaktu dilihatnya Arya Penangsang menghadapinya dengan punggung terbuka, Ki Ajar Wit Sunsang segera mengalirkan tenaga inti pada telapak tangan! Sepasang lututnya merendah. Dari jarak yang terbilang cukup, Ki Ajar Wit Sunsang mengambil ancang-ancang untuk menyerang Adipati Jipang tersebut dari belakang!