”Apakah kau akan memasukinya?”
”Bagaimana pendapat Paman?” Bondan bertanya balik.
”Bisa saja justru kita memasuki bahaya.” Ki Hanggapati diam barang sejenak, lalu katanya, ”Aku tunggu mereka bertiga di sini. Barangkali mereka akan keluar. Sementara kau akan menuju banjar sekarang.”
”Di mana kita akan bertemu?”
”Aku dan pamanmu, Ki Swandanu, mempunyai cara untuk itu. Tirukan bunyi burung derkuku. Kau akan bertemu mereka.”
Bondan hanya menopang dagu pada lututnya. Ia berpikir akan lebih baik jika mereka dapat mengetahui kejadian di dalam rumah. Tetapi ia mencoba menuruti yang dikatakan Ki Hanggapati. Bondan bangkit berdiri lalu melangkah gontai meninggalkan Ki Hanggapati. Ki Hanggapati menatap punggung Bondan dan mendesirkan napas panjang. Sejenak kemudian ia kembali mengamati regol halaman. Alangkah kagetnya saat ia menoleh ke arah Bondan berjalan, Bondan sudah tak terlihat olehnya.
Pada saat itu, ketika Bondan menoleh belakang, ia melihat Ki Hanggapati telah memalingkan muka mengamati rumah yang dimasuki tiga peronda. Bondan melihat kesempatan untuk kembali mengawasi rumah itu. Dengan kecepatan yang dimilikinya, ia melesat ringan menyelinap di antara tanaman di pekarangan seberang. Sejurus kemudian ia telah berada persis di seberang depan regol rumah yang juga sedang diawasi Ki Hanggapati.
”Ia masih menuruti rasa ingin tahunya,” desah Ki Hanggapati mengendap, mendekati kedudukan Bondan yang ia perkirakan ada di seberang regol.
Bondan mendengar dedaunan yang saling bergesek.
”Agaknya paman Hanggapati mengetahui aku berada di sini,” keluh Bondan. Tetapi ia telah berbulat niat dan itu membuatnya dapat mengesampingkan perasaan tidak enak pada Ki Hanggapati.
”Kau berada di sini, Ngger,” bisik Ki Hanggapati melihat Bondan telah mengetahui kedatangannya.
”Maaf, Paman.” Bondan menatap tanah tempatnya berpijak.
”Ah sudahlah. Kita tunggu mereka di sini.”
”Tidak, Paman. Saya akan masuk pekarangan. Paman amati dari sini,” kata Bondan yang kemudian bergeser maju mendekati parit di tepi jalan.
”Ngger, lalu apa jawabanku jika dua pamanmu bertanya?”
Bondan menahan langkahnya, diam sesaat kemudian bergeser ke sebelah Ki Hanggapati. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Sementara Ki Hanggapati juga tidak berkata-kata lagi, agaknya ia tidak ingin menambah suasana hagi Bondan semakin bergejolak.
”Ah syukurlah, asal ia sudah berada di dekatku. Itu sudah lebih dari cukup. Dengan ilmunya yang tinggi, sudah tentu ia telah berada di dalam pekarangan itu saat ini.”
Dari balik dinding halaman rerdengar orang bercakap-cakap. Pintu regol perlahan terbuka dari dalam, seseorang melihat sepanjang jalan di depannya.
”Apakah ada orang?” tanya seseorang yang membawa tongkat berkepala burung rajawali.
”Tidak ada, Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya kemudian melangkah keluar melewati regol dan ia berjalan dengan tergesa-gesa menuju banjar pedukuhan. Di belakangnya ada enam orang yang mengiringinya, tiga orang adalah peronda dan yang lainnya adalah penjaga rumah.
Ki Hanggapati dan Bondan menyelinap di antara kegelapan malam mengikuti rombongan Ki Jagabaya. Ma-lam itu banyak peronda yang berkeliling melakukan penjagaan, tetapi keduanya tidak mendapat kesulitan untuk tetap berada dalam jarak yang cukup untuk mendengarkan pembicaraan. Namun Ki Jagabaya dan pengawalnya ternyata tidak berbicara sama sekali. Tak lama kemudian iring-iringan itu akhirnya memasuki halaman banjar pedukuhan. Saat itu beberapa anggota rombongan Ki Sukarta sedang berbaring di lantai pendapa kecil. Dan pengawal yang lain beristirahat di sebelah roda pedati.
Ki Sukarta segera bangkit menyambut kedatangan iring-iringan kecil yang menaiki tanak tangga. Ki Sukarta ramah menyapa rombongan itu dan mengatakan keperluannya.
”Aku telah mendengar dari para peronda tentang kedatangan Ki Sanak. Agaknya Ki Sanak sedang dalam perjalanan jauh,” kata Ki Jagabaya dengan tatap mata menyelidiki. Ki Sukarta masih tersenyum ramah meskipun ia tidak suka dengan perlakuan Ki Jagabaya, tetapi ia menganggapnya masih dalam batas kewajaran sebagai pemangku keamanan pedukuhan.
”Begitulah seperti yang terlihat.”
”Siapakah Ki Sanak? Dan ke mana Ki Sanak akan pergi?” Ki Jagabaya bertanya dengan suara yang tidak terdengar ramah.
”Saya adalah Ki Sukarta. Saya seorang pedagang dan akan berdagang di sebelah utara Kali Brantas, Kami ingin menginap satu atau dua malam di banjar ini,” jawab Ki Sukarta. Sebelum Ki Jagabaya bertanya lebih lanjut, Ki Sukarta berkata lagi, ”Kami datang dari Tanah Menoreh.”
Ki Jagabaya menggigit bibir seperti memikirkan ucapan Ki Sukarta.
”Baiklah, aku tidak keberatan Ki Sanak bermalam di banjar. Tetapi sebelumnya aku minta para pengawal Ki Sanak menyerahkan senjata terlebih dahulu kepada para pengawal pedukuhan,” kata Ki Jagabaya sambil memberi tanda kepada pengikutnya untuk melucuti senjata-senjata pengawal Ki Sukarta.
”Tahan!” Ki Sukarta berkata lantang. Katanya, ”Jika senjata ini kami serahkan kepada kalian, lalu bagaimana kami akan menjaga diri? Siapkan diri kalian!” Selangkah mundur Ki Sukarta mencoba bertahan. Para pengawalnya pun meloloskan senjata dan berhadapan dengan pengawal pedukuhan dengan senjata terhunus. Mereka berteriak-teriak saling bersahutan. Kedua pihak ini sama-sama berkeras mematuhi perintah pimpinan masing-masing. Sementara itu orang-orang yang berada di dekat pedati segera berhamburan memasuki pendapa ketika mendengar suara ribut dari teman-temannya.
”Patuhilah Ki Jagabaya, kalian tamu di pedukuhan ini,” seru seseorang yang bertubuh kecil.
”Tidak. Kami belum mengenal kalian. Mungkin kalian adalah pengawal pedukuhan dan mungkin juga kalian adalah penyamun yang menyamar.”
”Diam! Jika kau tidak percaya kepada Ki Jagabaya dan pengawal pedukuhan, tinggalkan pedati di halaman. Dan pergilah tanpa membawa apa pun, maka dengan begitu rasa tidak percaya yang ada dalam diri kalian tidak akan membawa gangguan lagi,” bentak seorang pengawal pedukuhan.