Pengalaman Ken Banawa berbuah pemahaman bahwa lawan yang dihadapinya telah melambari setiap gerakan dengan tenaga cadangan. Perwira Majapahit berpangkat rangga ini segera memberikan perlawanan yang hebat. Permainan pedangnya menggila, membungkus sinar merah keris Ki Arumbaya. Dalam waktu itu, Ki Arumbaya bertahan dengan pengerahan segenap ilmunya. Cukup singkat, mereka saling melibat dalam pertarungan yang lebih dahsyat dari semula. Gulungan sinar berwarna merah dan putih bergantian membungkus satu sama lain. Terkadang mereka berbenturan lalu terdorong mundur. Dentang senjata mereka terdengar nyaring dalam setiap benturan.
Pertarungan itu menarik perhatian Ki Swandanu, gumamnya, ”Aku harus bersyukur sekali lagi. Ki Arumbaya dapat saja menyelesaikan hidupku dalam waktu yang cukup singkat.”
Kemarahan Ki Arumbaya menjadi sebab meningkatnya pertarungan yang sebenarnya telah berlangsung ketat. Ki Arumbaya melesat, menyambar-nyambar dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Lingkar perkelahian mereka semakin luas hingga mendekati tempat Ki Swandanu dan Jalutama. Mereka semakin dekat dengan puncak kemampuan masing-masing.
Ken Banawa sendiri berkeinginan untuk segera menyelesaikan pertarungannya dengan Ki Arumbaya. Maka, tanpa diduga lawan, ia menyusupkan lima jari yang terkembang secepat kilat ke dada Ki Arumbaya. Pekik nyaring terdengar dari Ki Arumbaya saat merasakan angin pukulan Ken Banawa telah menyentuh kulit dadanya. Ia menyambut telapak tangan terbuka itu dengan cara yang sama.
Dua tenaga yang berbenturan, berdentum menggelegar, walaupun tidak begitu kencang tetapi menggetarkan dada Ki Swandanu dan Jalutama. Sama halnya dengan Ken Banawa serta Ki Arumbaya yang terpental, Ki Swandanu dan Jalutama pun serentak terhuyung dan tergeser surut beberapa langkah.
Ki Arumbaya seperti berkelahi tanpa disertai pengamatan yang cukup kuat untuk mengendalikan diri. Ia membiarkan perasaannya meluap-luap, dan itu menjadikannya lupa dengan keseimbangan tubuhnya. Ia berseru kencang, melesat melebihi anak panah, menerjang Ken Banawa yang masih memperbaiki kedudukan.
Kecepatan Ki Arumbaya meningkat luar biasa dan pengerahan itu juga disertai tenaga dalam yang besar. Serangan yang dilontarkan penuh amarah berubah menjadi terjangan lahar dari letusan Gunung Merapi. Kalau saja lawan Ki Arumbaya bukan Ken Banawa, mungkin ia akan menerbangkan nyawa tinggi-tinggi. Tetapi lawan Ki Arumbaya adalah orang yang sudah kenyang merasakan manis pahit olah kanuragan. Ken Banawa, sekalipun belum sepenuhnya dapat mengembalikan keseimbangan, tetapi kemahirannya memainkan pedang dapat menolongnya keluar dari tekanan hebat Ki Arumbaya.
Pedangnya yang tipis sangat lentur ketika dikibaskan ke kiri dan kanan. Tenaga dalam yang disalurkan Ken Banawa melalui batang pedang menghantam Ki Arumbaya dengan angin panas yang menusuk langsung urat nadi. Meskipun ujung pedang Ken Banawa masih berjarak beberapa jengkal tetapi angin panas yang keluar seperti menyayat kulit tangan Ki Arumbaya.
Ki Arumbaya mengelak dengan berjungkir balik ke belakang. Ia mengusap jari tangan kanan yang robek karena serangan balik yang luar biasa dari Ken Banawa. Sedikit darah yang mengalir namun cukup untuk menyiram api dalam hatinya yang semakin membara. Ki Arumbaya berdesis, ”Orang ini mempunyai ilmu yang menakjubkan. Dalam jarak cukup jauh ternyata ujung pedangnya dapat menyayat kulitku. Tidak bisa tidak, kematian harus tetap mendapatkan ganti!”
“Ki Sanak, jangan bersikap bodoh dengan kekalahan orang-orangmu,” berkata Ken Banawa setelah mengamati sekitar barang sejenak. Lalu ia melanjutkan, ”Sebelum kau melangkah lebih jauh, bukankah kau lebih baik menyerah? Dan aku akan melepaskan segala tanggung jawabmu agar kau dapat meneruskan ilmu hebat yang kau miliki.”
“Berhentilah berbicara, Ki Sanak! Siapakah dirimu hingga kau dapat melepas tanggung jawabku?” Mata tajam Ki Arumbaya bersinar-sinar penuh amarah. Ia merasa direndahkan dengan perintah menyerah dari Ken Banawa.
“Ia mempunyai nama Ken Banawa. Ia seorang rangga Majapahit, dan tentu kau telah mendengar kematian Ki Cendhala Geni di Sumur Welut,” teriak Jalutama. Sedangkan Jalutama sendiri banyak mendengar jati diri Ken Banawa dari penuturan Ki Hanggapati dalam perjalanan keluar dari pedukuhan di lereng Gunung Wilis.
“Pantas, kau dapat bertahan dari seranganku yang terakhir, Ki Rangga,” berkata Ki Arumbaya sambil berjalan hilir mudik seperti seekor harimau yang menunggu kelengahan mangsa. Kemudian ia berkata lantang, ”Baiklah, Ki Rangga. Aku akan serahkan senjataku padamu setelah kau dapat mengalahkanku!” Demikian ia menutup mulut, seketika keris berpamor merah itu berputar sangat cepat seperti gasing. Kepak tangan Ki Arumbaya yang cepat membuatnya seolah terbungkus dalam kabut berwarna merah. Ia bergeser selangkah demi selangkah mendekati Ken Banawa yang berdiri tegak dan tenang. Keris Ki Arumbaya makin berpijar merah dan udara panas mulai merebak perlahan ke setiap penjuru angin.
Ken Banawa menatap tajam, mengamati setiap perkembangan yang terjadi pada diri Ki Arumbaya. Diam-diam ia mengerahkan kekuatan yang sangat jarang digunakan. Pada kesempatan itu, Ken Baawa merasa harus membangunkan urat-urat syaraf yang telah lama tertidur. Tanpa disadari oleh KI Arumbaya yang terkungkung marah dan keinginan untuk membunuh lawan, Ken Banawa mengalirkan tenaga inti lalu disalurkan melalui hulu pedang.