Gugus tempur yang beranggotakan sejumlah kecil pengawal pedukuhan terikat dalam sebuah bidang lapang. Ini menjadi sebab mereka dapat bergerak sesuai keadaan. Jika gelar lawan terbuka karena dobrakkan mereka, maka satuan kecil bentukan Pandan Wangi itu dapat memukul ke bagian samping sayap atau justru menarik diri mundur. Namun mereka tidak mendapatkan izin untuk mendesak maju. Satuan kecil pengawal itu hanya mempunyai satu tujuan : memecah gelar, memisahkan anggota pasukan lawan lalu menekan lawan dengan melalui susunan perang yang berdenyut kuat.
Namun pasukan Ki Sor Dondong tetap bergerak maju. Mereka tetap menghujani Gondang Wates dengan anak panah yang seolah tidak ada habis. Bahkan, gelombang pertama anak panah raksasa mereka telah menghancurkan sebagian wilayah Gondang Wates. Bila mereka tidak terhadang dengan barisan depan pedukuhan yang sangat tangguh, maka pengikut setia Raden Atmandaru akan dapat merebut tempat-tempat yang penting. Lumbung dan tempat perbekalan lain, pekarangan atau bulak-bulak yang mempunyai nilai lebih dalam pertahanan.
Dengan cara yang jitu, para pemimpin kelompok Ki Sor Dondong cepat meredam letusan-letusan yang disebabkan oleh gugus tempur Gondang Wates. Mereka memunculkan riak yang lebih besar lalu menelan gelombang serangan pengawal pedukuhan. Dalam waktu itu, hantaman yang cukup keras tidak membuat gugus tempur Gondang Wates menjadi jerih lalu kocar kacir. Mereka tetap berpegang pada perintah Pandan Wangi yaitu mundur, lalu bergabung dengan anggota kelompok lain untuk menyerang sisi yang berbeda dari gelar Supit Urang lawan. Maka, demikianlah barisan besar Ki Sor Dondong tidak dapat mempertahankan laju seperti semula. Mereka melambat walau pun tetap mengarah pada jantung Gondang Wates.
Terang mulai merebak pada pagi hari yang mencekam itu, tiba-tiba terdengar beberapa suara ledakan memecah udara Gondang Wates! Dua anak panah terlontar sangat deras, menghantam tepat pada ujung anak panah raksasa yang dilepaskan barisan panah Ki Sor Dondong. Semangat pengawal Gondang Wates terangkat ketika menyaksikan peristiwa langka sedang terjadi di ruang udara mereka. Pandan Wangi, ya, Pandan Wangi melakukan gerakan yang cukup indah, memutar sepasang pedang dengan ayunan yang mengeluarkan serangkum angin tajam lalu menyayat dua batang panah raksasa menjadi banyak bagian.
“Nyi Pandan Wangi,” desis banyak pengawal berulang-ulang dengan perasaan bergolak penuh harapan. Namun wajah mereka kemudian terlihat keruh ketika seorang penghubung yang menempati garis depan kemudian datang dengan napas memburu tampak melintasi jalan, memotong arah, menuju tempat Pandan Wangi berada. Apa yang terjadi di baris depan? pikir kebanyakan dari mereka.
“Nyi,” kata petugas penghubung, “mereka semakin dekat. Kelompok pengawal kita yang juga melakukan gelar pendam mulai terlihat sering berpindah tempat. Beberapa orang terluka dan saya tidak dapat memberi keterangan lebih dari itu.”
Pandan Wangi tetap terlihat tenang. Ia sedang menunggu petugas penghubung itu mengatur napasnya yang tersengal. Pandan Wanti tidak dapat mengubah siasat sebelum laporan diterimanya dengan lengkap.
“Ketika saya meninggalkan tempat, bagian terdepan gelar lawan sudah mencapai batas yang telah ditentukan oleh Pangeran Purbaya. Mungkin saat ini mereka sudah melampaui deretan pohon kelapa,” kata petugas itu.
“Kita jemput mereka,” kata Pandan Wangi lirih. Ia berpaling pada arah Pangeran Purbaya, lalu arah yang lain kemudian perintahnya, “Utara, sendaren!”
“Bagus,” puji Pangeran Purbaya. Keputusan Pandan Wangi menggerakkan bagian utara sudah tentu bukan pergerakan tanpa isi. Mereka akan menyerang sayap kanan gelar lawan, dan itu juga berarti akan memberi ruang perlindungan bagi pasukan yang dipimpin Sabungsari apabila mereka terdesak.
Benarlah perkiraan Pandan Wangi. Sayap utara Gondang Wates bangkit, menghantam lalu merangsek maju hingga belasan langkah ke dalam susunan gelar Supit Urang. Sabungsari melihat perkembangan itu. Dan sesuai pesan yang diterimanya, Sabungsari akan mendorong pasukannya bergerak cepat. Menghantam silang bagian terluar gelar lawan, lalu mundur sambil bergerak menyilang ke arah berlawanan. Lantas kembali menerjang maju sambil tetap menjaga simpul-simpul yang memudahkan mereka bergerak silang ke arah yang dikehendaki.
Sabungsari meneriakkan perintah dengan suara melengking. Gaung suara Sabungsari menghentak kesadaran para pengawal kademangan yang berasal dari pedukuhan induk. Mereka tidak terlibat banyak pembicaraan sejak meninggalkan Watu Sumping. Maka kesadaran mereka pun segera terliputi oleh semangat yang sangat cepat membakar pertempuran. Bagian terluar dari lawan cukup tersengat dengan serangan kilat yang mengejutkan itu. Dalam waktu singkat, tiap orang telah terlibat saling serang di bawah ayunan senjata dan anak-anak panah yang berdesing di udara.
Pertempuran meningkat semakin sengit pada tempat Sabungsari memimpin pasukannya. Berulang-ulang ia meneriakkan perubahan gelar perang. Dari Emprit Neba ke Wowor Sambu, kemudian mereka berperang tak terarah lantas kembali menyusun gelar sesuai aba-aba Sabungsari.
Ki Sor Dondong memandang pertempuran pada bagian sayap gelarnya dengan sinar mata geram. Ternyata yang memberinya perlawanan adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan yang cukup. Bukan sekedar petani lusuh biasa, bukan seorang pedagang keliling berkulit legam, tetapi sekumpulan orang-orang yang lebih dapat dikatakan sedang menganggap pertempuran adalah ajang perang tanding. Ini jelas menyulitakannya, membuat rumit langkah demi langkah yang disiapkannya untuk mengembangkan gelar. Jika benturan pertama ini dapat bertahan hingga siang nanti, maka pasukannya terancam menelan kekalahan dalam waktu lebih singkat. “Ini memalukan!” kecamnya dalam hati. Sungguh, para petinggi yang berada di lingkaran terdekat Raden Atmandaru sama sekali tidak mempunyai bayangan bahwa pagi itu mereka akan mendapatkan perlawanan yang mendatangkan kesulitan besar. “Mereka tidak dapat dibinasakan lebih cepat,” desis hati Ki Sor Dondong.
Agar tetap berada dalam jalur yang sesuai dengan tujuan, Ki Sor Dondong memerintahkan penghubung mereka untuk menemui sejumlah orang. Tak lama kemudian, beberapa orang berkumpul di dekat Ki Sor Dondong. “Kita tidak dapat menunggu lebih lama. Kita tidak mempunyai waktu atau kesempatan lebih panjang dari hari ini. Kalian dapat mencari lawan yang sebanding, atau bila tidak, kalian dapat menghantam mereka dari arah yang kalian sukai.”
Maka, dengan demikian, Ki Astaman pun memasuki pertempuran. Begitu pula Ki Arung Bedander yang datang jauh dari pegunungan kapur di pesisir utara Jawa.
Dari arah pedukuhan, Pandan Wangi memberi aba-aba pada pemanah. Dengan cekatan, para pemanah pedukuhan meluncurkan anak-anak panah pada sasaran yang ditunjukkan Pandan Wangi. Lagi-lagi terlihat pergerakan silang, tetapi, kali ini, terjadi di angkasa Gondang Wates. Pandan Wangi berusaha mengacaukan sisi kiri gelar lawan dengan anak-anak panah hasil rampasan atau anak panah buatan mereka sendiri. Pada bagian itu memang tidak ada gugus tempur yang bersifat khusus sebagaimana kelompok-kelompok yang berada di barisan depan. Namun Pandan Wangi harus melakukannya untuk mengeluarkan Sukra dari barisan lawan! Perhatian lawan teralihkan dengan adanya dua serangan yang menimpa mereka melalui cara yang tidak biasa. Meski tidak mengetahui keadaan Sukra yang sebenarnya, namun Pandan Wangi dapat membuat persiapan selanjutnya!
Sukra, yang berada sedikit serong ke selatan dari kelompok-kelompok pengawal yang berada di garis depan, mengetahui bahwa siasat Pangeran Purbaya dan Pandan Wangi dapat berjalan dengan baik. Namun lawan mereka berjumlah berlipat-lipat lebih banyak, maka Sukra tidak gegabah menampakkan diri lalu bergabung ke barisan pengawal. Sukra memilih untuk tetap bergerak sedikit lebih cepat dari barisan lawan. Dan ketika anak-anak panah dari pedukuhan mulai datang membadai, Sukra meloncat keluar. Sukra berdiri dengan sikap mengancam sambil menepuk-nepuk dadanya seolah ingin mengatakan bahwa ia sedang menantang setiap orang yang melihatnya.
Sejumlah orang terpancing.
Sukra berlari ke arah anak panah berasal. Itu berarti Sukra bergerak silang. Dan para pengejarnya seperti tergesa-gesa ingin meringkusnya. Maka, tanpa sadar, mereka telah mengikuti Sukra yang memintas tanah persawahan yang basah. Sekejap Sukra menoleh belakang. “Sekarang!”
Sukra memutar tubuh kemudian katanya, “Empat orang, hanya empat orang dan kalian yakin dapat menangkapku?”
“Kakehan cangkem!” seru salah seorang dari mereka lalu menyambar Sukra dengan serangan bersenjata.