Setelah sedikit tenang, lelaki itu berkata, “Ternyata Ki Buyut Menoreh mempersiapkan hadiah untuk kita semua.” Dengan senyum lebar mengembang, ia bangkit berdiri, lanjutnya, “Ki Buyut Menoreh telah susah payah mengirimkan banyak perhiasan mahal, dan perhiasan-perhiasan itu telah tiba di pedukuhan malam ini.”
Sontak ruangan menjadi riuh. Teriakan gembira dan tangan-tangan yang terkepal meninju udara berulang-ulang. Lelaki tersenyum melihat binar mata yang memancar keluar dari mata kawan-kawannya. Ia mengangankan sebuah pekerjaan besar yang telah disiapkan.
“Harap semua tenang,” serunya dengan dua tangan terbuka di depan dadanya. “Kita tidak boleh berlarut-larut dalam kegembiraan ini. Karena perhiasan yang dikirim dari Menoreh membutuhkan keringat dan kerja keras.” Kegembiraan yang dalam sekejap memenuhi seisi ruangan perlahan meredup.
Ia kembali duduk dan menoleh Ki Bekel dengan tatapan mata menusuk jantung, “Apakah kau telah menyuruh Ki Wandira menyiapkan pengawal pedukuhan?”
” Belum,” jawab Ki Bekel sambil menunduk.
“Bagus. Tapi apakah kau telah berpesan padanya bahwa pemindahan perhiasan itu dapat dilakukan jika ada orang-orang padepokan?” ia bertanya lagi.
“Ya. Saya katakan seperti yang dipesankan oleh utusan Mpu Reksa,” jawab Ki Bekel yang masih menundukkan kepala.
“Bagus.” Lelaki itu kemudian menyuruh orang-orang keluar ruangan. Namun sebelum itu, ia memberi tugas dan pesan untuk beberapa orang. Kini hanya delapan orang yang masih duduk di atas tikar.
“Malam ini jangan ada kejadian buruk yang menimpa para tamu dari Menoreh,” katanya kemudian, “Ki Jagabaya hanya boleh menahan senjata mereka tetapi jangan ada yang terluka malam ini. Kelompok Ki Kalong Pitu akan turun ke pedukuhan besok menjelang fajar dan menjaga setiap celah yang dapat dijadikan jalan keluar. Sedangkan kelompok Ki Gancar Sengon dibantu pengawal pedukuhan harus dapat merebut kiriman itu sebelum matahari berada di puncak langit.
“Ki Bekel harus mengeluarkan penduduknya sebelum fajar tiba,” tutup laki-laki itu.
Sementara Ki Bekel menarik napas panjang dan menatap kosong gambar ular pada kain yang menjadi alas. Sebetulnya ia keberatan jika harus mengorbankan keselamatan para pengawal pedukuhan. Ditambah lagi bahwa mengungsikan penduduk terutama para perempuan dan anak-anak hanya akan membawa mereka memasuki sarang harimau. Tetapi ia tidak mempunyai keberanian untuk menolaknya.
“Apakah Ki Bekel mempunyai usulan yang lebih baik?” tanya lelaki itu.
Ki Bekel menggelengkan kepala sambil memaki-maki dalam hatinya.
“Aku harus melakukan perintah orang gila ini. Meskipun berat tetapi aku lakukan demi kemakmuran keluargaku. Para perempuan di pedukuhan ini hanya akan menjadi sasaran baru bagi orang-orang buas padepokan gila ini. Tetapi biarlah yang penting aku dan keluargaku dapat selamat,” ia berkeluh kesah dalam hatinya.
Ia tidak memungkiri bahwa kemakmuran yang ia peroleh selama ini tidak semata-mata dari hasil pertanian dan perdagangan. Orang-orang Padepokan Sanca Dawala kerap mengirimkan hadiah berupa perhiasan mahal kepadanya. Ki Bekel dengan senang hati menerima itu semua selama tidak merugikan penduduk pedukuhan. Lambat laun Ki Bekel mulai berada dalam genggaman kuasa pimpinan padepokan. Pedukuhannya sering kali menjadi tempat bersembunyi para penyamun. Upeti bagi Sri Jayanegara yang dirampas di pedukuhannya telah meninggalkan kesan mendalam bagi jiwanya. Peristiwa itu membuatnya lebih kaya dari sebelumnya bahkan kekayaannya melampaui ki demang yang membawahi pedukuhannya. Dan semenjak peristiwa itu, ia mendapat penghormatan lebih besar dari ki demang dan tidak jarang ki demang tunduk pada keinginannya.
Suasana di pedukuhan.
Dua orang itu berangsur pergi melihat suasana dalam pedukuhan, lalu berhenti dan menambatkan kuda-kuda mereka di belakang sebuah kandang ternak. Jalan-jalan menjadi lebih lengang dibandingkan saat mereka melintas di pagi hari. Tidak ada lagi tangis anak kecil atau gelak tawa mereka bermain-main. Pada saat itu, sudut mata Ken Banawa dan Ki Swandanu menangkap bayangan orang bergerak di balik dinding-dinding rumah penduduk. Di lain saat mereka melihat kelebat barisan orang yang merunduk di sela-sela pohon di pekarangan. Sesekali pantulan senjata berkilauan menembus sela tanaman yang tidak begitu rapat. Ketegangan terasa perlahan mencengkeram pedukuhan.
Kedua orang dari kotaraja itu berhenti di simpang empat. Mereka merunduk dan mengawasi jalan, beberapa orang menyeberang dengan cepat menuju banjar. Ki Banawa dan Ki Swandanu bangkit mengikuti agak jauh di belakang orang-orang itu.