Di tempat lain.
Beberapa saat setelah Jalutama memasuki halaman banjar, beberapa pengawal pedukuhan bangkit lalu memagari halaman dengan senjata telanjang. Keadaan mendadak menjadi kacau. Para pengawal Ki Sukarta dari Tanah Menoreh mengumpat-umpat dan mengeluarkan kata-kata tidak pantas ditujukan pada Ki Wandira. Tetapi mereka menjadi tenang kembali saat Jalutama mengangkat tangan dengan wajah menahan marah, katanya, ”kita tidak perlu memaki pimpinan mereka. Yang kita butuhkan saat ini adalah ketenangan dan sebuah keyakinan.” Usai mengatakan itu, Jalutama melihat ada kesempatan untuk memberi tahu isi pembicaraannya dengan Ki Hanggapati dan Bondan kepada Ki Sukarta dan kepala pengawal.
”Jumlah kita lebih sedikit dari mereka, Ki,” kata pemimpin pengawal. Lalu ia duduk di anak tangga dan menatap tajam barisan pengepungnya.
”Itulah yang aku maksudkan, Kang Wardi,” kata Jalutama.
Sejenak mereka larut dalam perbincangan yang mengendurkan urat saraf. Mereka tidak menunjukkan ketegangan sebagaimana yang timbul pada malam sebelumnya. Mereka juga tidak memperlihatkan rasa khawatir di depan para pengawal pedukuhan yang berjaga di luar banjar.
”Saudaraku sekalian. Boleh jadi siang ini kita tidak dapat menghindar dari pertumpahan darah dan kematian. Mungkin juga tidak akan ada satu orang pun dari kita yang dapat selamat, apalagi kembali pulang ke Menoreh. Kita dikepung dalam keadaan tidak bersenjata,” kata Jalutama perlahan sesaat para pengawal telah duduk melingkarinya dan Ki Sukarta.
”Tetapi, kita harus bertempur dengan keyakinan bahwa kita akan selamat sekalipun tidak ada senjata di tangan kita. Kalian mungkin akan berpikir keselamatan untuk saat ini hanyalah sebuah angan-angan. Aku sekedar mengingatkan bahwa kita pernah berlatih bertempur dalam kelompok-kelompok kecil. Kita gunakan segala benda yang ada sebagai senjata. Andaikata kita memang mengakhiri hidup di pedukuhan ini, kita semua akan mati dalam kehormatan dan kegagahan sebagai pengawal,” tutup Jalutama ketika melihat bayangan orang berjalan mendekati mereka.
”Usia Angger Jalutama masih begini muda tetapi kematangan jiwanya jauh di atas usianya sendiri. Benar-benar pantas dan layak sebagai pewaris Sima Menoreh,” desah Ki Sukarta dalam hatinya. Kang Wardi dan pengawal yang lain semakin menaruh hormat yang besar pada putra Ki Giritama, pemimpin Sima Menoreh.
”Kalian semua turunlah ke halaman. Sekarang!” bentak seseorang yang bertubuh pendek.
Jalutama memberi isyarat orang-orang Menoreh untuk mengikuti perintah orang pendek itu. Jalutama dan Ki Sukarta bergegas bangkit dan berjalan keluar banjar. Para pengawal Sima Menoreh mengikuti di belakang mereka. Di halaman mereka berdiri saling membelakangi dan membentuk lingkaran.
Jalutama dan Ki Sukarta berhadap-hadapan dengan Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Untuk beberapa saat lamanya Jalutama menatap dua orang di depannya bergantian.
Ki Bekel selangkah maju lalu berkata, ”Kalian orang-orang Menoreh akan kami kuburkan dengan penghormatan penuh jika isi pedati kalian serahkan pada kami.”
”Jika kami menolak?” tanya Ki Sukarta tajam.
”Apa yang dapat kalian lakukan? Sedangkan kalian tidak memegang senjata. Kalian jangan sesekali punya pikiran dapat keluar dari pedukuhan ini dengan selamat,” kata pemimpin pedukuhan sambil bertolak pinggang dengan kaki sedikit merentang.
”Baiklah jika kalian memang menghendaki seluruh isi pedati, aku akan menebar kematian di sini,” kata Jalutama sambil memutar tubuh. Ia mengedarkan tatap matanya melampaui kepala para pengepung. Tiga kali suara perkutut telah ia dengar. Kemudian ia berseru nyaring, ”Siapkan serangan!”
Pengawal dari Sima Menoreh merundukkan tubuh dan seketika sudah siap bertempur.
Tiba-tiba seseorang tertawa dari balik punggung bekel pedukuhan, melangkah ke depan sambil berkata, ”Kau lebih pantas menggantikan Sri Jayanegara. Anak muda. Siapa namamu?”
”Aku biasa disebut sebagai dewa pencabut nyawa,” jawab Jalutama sambil menggeram. Ia merendahkan tubuh dan kedua kakinya melebar. Lutut kaki kanan hampir menyentuh tanah.
Kencang dan benar-benar melaju sangat kencang mengarah pada haluan kapal perang yang menjadi tempat Raden Trenggana mengatur jalannya perang. Badan kapal terguncang padahal masih berjarak sepuluh tombak dari tubuh Gagak Panji yang menggelung rapat! Mereka, Gagak Panji dan Raden Trenggana, masih belum beranjak dari perkelahian tangan kosong. Seluruh unsur tata gerak mengalir lancar dan saling mengelontorkan serangan bertubi-tubi. Pangeran Benawa - Lamun Parastra Ing Pungkasan
”Sekarang!” tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring diikuti beberapa anak panah melesat ke barisan pengepung. Anak panah melesat lebih cepat dari lontaran busur orang biasa telah menembus dada beberapa orang termasuk Ki Jagabaya. Mereka menggelepar terlentang dan tidak bangkit lagi.
Para pengawal dari Menoreh cekatan bergulingan mengambil senjata dari tangan orang yang membujur lintang. Ki Kalong Pitu dan bekel pedukuhan terkesiap dengan serangan mendadak yang luar biasa cepat. Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan meluncur deras ke arah Ki Kalong Pitu yang meloncat samping menghindari anak panah. Sementara itu Jalutama seperti seekor rajawali menyambar kuat dan cepat memukul pergelangan tangan pengawal di depannya. Dalam satu gebrakan ia merebut sebatang pedang dan memukul keras tengkuk seorang pengawal pedukuhan hingga pingsan. Ia kemudian bertempur berpasangan dengan Ki Hanggapati yang berhasil menembus kepungan dari sebelah luar. Ki Sukarta sangat gesit mengikat bekel pedukuhan untuk bertarung tangan kosong dengannya. Ia berhasil mencegah bekel pedukuhan membantu anak buahnya.