“Senjata dengan ciri yang sama telah melukai seorang pangeran,” desis Gubah Baleman. Ia mengangkat tinggi anak panah itu lalu berseru lantang, ”Aku perintahkan kalian untuk menyerah! Anak panah sejenis ini telah mengancam keselamatan keluarga raja. Letakkan senjata kalian dan keluarlah dari dinding padepokan!”
Tiba-tiba tanda bahaya berbunyi dari bagian dalam padepokan. Suara kentongan bernada titir dan suitan nyaring yang melengking saling bersahutan. Perintah Gubah Baleman agar mereka menyerahkan diri telah disambut dengan teriakan-teriakan di bagian dalam untuk mengambil senjata dan bersiap. Maka dalam waktu sekejap seisi padepokan telah siap menghunus senjata. Sebagian dari mereka kemudian berkumpul di bagian depan padepokan, sedangkan kelompok yang lain menyebar di bagian lain.
Kemudian dari atas panggung muncul seorang lelaki berpakaian putih dan berdiri tegak menatap tajam Gubah Baleman yang berada di bawah.
“Tentu kau yang bernama Gubah Baleman,” berkata lelaki yang berbadan tegap dengan tangan yang terlihat kokoh. Usia lelaki itu mungkin lebih banyak dari usia Gubah Baleman tetapi penampilannya sedikit lebih segar.
“Dan kau adalah orang yang menamakan dirinya Ki Branjangan Putih,” sahut Gubah Baleman dengan dada sedikit membusung.
“Bila kau mencoba memasuki halaman padepokan ini, kau tidak akan dapat kembali melihat keluargamu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi karena aku ingin memberi Kertajaya sebuah tanda mata,” kata Ki Branjangan Putih, “dan itu adalah kepala dan tanda pangkatmu!” Lantas ia memberi aba-aba pada pengikutnya untuk melepaskan anak panah menghujani Gubah Baleman dan orang-orang yang menyertainya.
Namun sebelum orang-orang melaksanakan perintahnya, tiba-tiba dari bagian belakang terdengar suara ledakan yang cukup keras di-sertai dua tubuh yang meluncur melebih anak panah. Pukulan jarak jauh Toh Kuning yang sangat dahsyat berhasil merobohkan beberapa batang kayu yang diikat menjadi satu bagian dari dinding. Sekejap kemudian mereka menerjang orang-orang padepokan yang mereka jumpai di situ. Lalu prajurit Kediri datang mengikuti mereka dan memasuki halaman belakang padepokan menyerang kelompok Ki Branjangan Putih yang lain.
Orang-orang Waringin Kelabang sama sekali tidak menduga prajurit Kediri dengan tiba-tiba menyerang mereka dengan siasat yang rapi dan cepat. Prajurit Kediri yang bertempur dalam kelompok-kelompok kecil dapat membuat gagap dan kekacauan di bagian belakang padepokan. Orang-orang padepokan yang sempat kalang kabut itu mencoba membuat barisan pertahanan yang rapi dan kuat. Tetapi salah satu lawan mereka adalah Toh Kuning. Ia bersenjatakan sebatang bambu kuning yang diambilnya ketika menyusur jalan kecil di belakang padepokan. Ia dan Ki Lurah Trowani menyusup dan menyerang bagian belakang padepokan.
Tongkatnya berputar-putar menyengat setiap orang yang mendekatinya. Mereka tidak mampu menembus pertahanan Toh Kuning meski mereka mengeroyoknya. Tubuh para pengoroyok Toh Kuning terpental jatuh setiap kali tongkatnya menyentuh bagian tubuh mereka. Pergerakan dan kekuatan Toh Kuning meringankan beban Ki Lurah Trowani. Kemampuan Toh Kuning telah menjadi daya tarik bagi orang-orang padepokan untuk datang mengeroyoknya. Maka dengan begitu lawan yang dihadapi pasukan Ki Lurah Trowani menjadi berkurang.
Dengan demikian usaha mereka untuk membuat barisan pertahanan yang akan mempertahankan halaman belakang padepokan menjadi berat. Semakin lama mereka semakin terdesak dan semakin dekat dengan bangunan utama padepokan. Kematangan prajurit Kediri menjadi terlihat ketika mereka dapat memanfaatkan celah pertahanan lawannya. Mereka bergerak semakin maju.
Pertahanan orang-orang Waringin Kelabang kemudian menjadi pecah saat Gubah Baleman memerintahkan prajuritnya untuk membakar dinding padepokan yang terbuat dari kayu. Keadaan di bagian depan menjadi terpecah karena harus membagi perhatian. Perkembangan itu kemudian dimanfaatkan oleh prajurit Kediri untuk mendobrak masuk pintu padepokan yang terbakar.
Ki Branjangan Putih dengan penuh amarah menghadang Ki Rangga Gubah Baleman. Ia bertempur penuh geram dalam hatinya sehingga ia mengalami kesulitan menjaga kedudukan, sedangkan Gubah Baleman adalah seorang perwira yang berkepandaian tinggi. Dari orang-orang yang bertugas sebagai penghubung, Ki Branjangan Putih mengetahui bahwa orang-orangnya tidak akan mampu bertahan lebih lama. Sambil mengeluarkan segenap kemampuannya, Ki Branjangan Putih mencari seseorang yang sering menjadi temannya kala menyusun rencana.
“Aku tidak melihatnya,” desah Ki Branjangan Putih dalam hatinya. Ketika seorang penghubung melintas di dekatnya, ia meloncat surut menjauhi Gubah Baleman.