Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 17

Mendadak pembicaraan mereka terputus ketika terdengar derap langkah mendekati ruang pertemuan yang berada di bagian tengah rumah Ki Darmabudi.Seluruh pasang mata menatap pada pintu penghubung ruangan, menunggu seseorang yang pasti segera datang dan masuk.

“Salah seorang dari peronda melihat serombongan orang berbaris memasuki batas luar pedukuhan. Mereka datang dari arah Tanah Perdikan,” lapor penjaga regol dengan tubuh menghadap penuh pada Pandan Wangi. “Kami telah memeriksa dan memperkirakan jalur yang akan mereka tempuh. Sebagian pesan Nyi Pandan Wangi telah kami kerjakan,” lanjutnya.

“Baik,” sahut Pandan Wangi. Kemudian ia menghadapkan wajah pada Pangeran Purbaya, ucapnya, “Apakah rombongan itu bagian dari kita? Maksud saya, apakah  ada kemungkinan Ki Lurah Sanggabaya mengirim satuan pasukan khusus ke Gondang Wates, Pangeran?”

“Tidak. Aku telah meneliti keadaan di sana dari laporan-laporan petugas sandi Mataram. Tanah Perdikan setipis lebih baik dari keadaan Sangkal Putung, namun demikian itu bukan alasan kuat bagi Ki Gede maupun Ki Lurah Sanggabaya mendatangkan bantuan bagi kademangan,” jawab Pangeran Purbaya sambil memberi tanda dengan jarinya.

loading...

Orang-orang saling bertukar pandang dengan jantung berdebar. Mungkinkah pertempuran terbuka semakin dekat dan mereka jalani sendirian?

Pandan Wangi memijat dagunya, kemudian katanya, “Saya menunggu perintah Pangeran.”

“Sukra akan bergabung bersama mereka,” kata Pangeran Purbaya lantas meminta Sukra segera membuat persiapan untuk penyamaran dan segala hal yang akan berhubungan dengan tugas baru itu. Pangeran Purbaya mengucap sangat pelan mengenai langkah-langkah yang wajib ditempuh Sukra dalam tugasnya itu.

“Saya, Pangeran,” ucap Sukra dengan suara penuh keyakinan. Ia segera beranjak bangkit, mengajak Lamija agar membantunya. Peronda pun turut bersama mereka berdua setelah Pangeran Purbaya dan Pandan Wangi memberi perkenan.

Pandan Wangi kemudian berucap – setelah punggung tiga pengawal itu berlalu dari pandangannya, “Saya tidak menduga bila Pangeran menjadikan Sukra sebagai duta yang terselubung. Saya tidak meragukan keputusan Pangeran karena saya juga yakin Sukra benar-benar mempunyai kemauan untuk melu handarbeni dan melu hangrungkebi.”

“Aku telah melihatnya bertarung dan aku juga menyaksikan bagaimana jiwanya bergolak menghadapi keadaan ini. Namun, aku tidak ingin memujinya lebih tinggi meskipun Sukra tidak akan mendengarnya, darimu, Wangi. Ini karena aku bertujuan agar Sukra dapat memahami pesan yang tersimpan di dalam banyak petuah, salah satunya adalah mulat sarira hangrasa wani.”

“Saya dapat mengerti dari kepercayaan yang Pangeran limpahkan pada anak itu,” kata Pandan Wangi. Lalu dengan nada merendah dan lirih, sambungnya, “Semoga Yang Maha Agung melindunginya sebaik Sukra melindungi Sangkal Putung dengan caranya.”

Pangeran Purbaya meminta Pandan Wangi bergeser lebih dekat, lantas katanya, “Pecah pasukanmu menjadi lima bagian. Engkau tempatkan masing-masing di sini, sini dan sini.” Pangeran Purbaya menggambarkan sesuatu yang tidak terlihat di atas permukaan meja. Sekali-kali ia memberi tanda dengan benda tertentu sebagai pengganti bukit, sungai, lorong dan sebagainya. Dalam waktu itu, Pandan Wangi masih menyimpan keterangan dan pesan yang diberikan Agung Sedayu padanya melalui Kinasih.

Demikianlah perbincangan mereka berlangsung begitu senyap, namun panggraita dan pendengaran Pangeran Purbaya dapat menangkap getar napas dari ruang yang berbeda. “Ada orang lain selain kita, siapakah ia?” tanya Pangeran Purbaya.

“Suami saya, Ki Swandaru. Beliau berada di gandok kanan,” jawab Pandan Wangi singkat.

Pangeran Purbaya menatapnya heran. Namun ia tidak bertanya lebih lanjut dengan kebijaksanaan yang ada dalam dirinya. Pandan Wangi akan mengatakan itu padanya bila suasana hati dan waktu telah bersesuaian, pikir Pangeran Purbaya penuh keyakinan.

Di pekarangan belakang.

Sukra telah meraih kendali kuda. Sebuah gambar yang berisi petunjuk yang berisi jalan pintas menuju bagian belakang rombongan gelap sudah berada dalam genggamnya. Lamija dan penjaga regol seperti tidak lagi dapat mengenali Sukra yang terbungkus sangat baik di balik topeng penyamaran. Bukan sebagai pedagang atau petani, tetapi Sukra telah menampilkan wujud lain yang menyerupai cara berpakaian lawan! Dua hari pengamatan membuatnya lebih teliti dan seksama dalam membuat batas-batas perbedaan dari pakaian yang dikenakan orang-orang yang lewat di depannya. Ia menghentak lambung kuda, bergerak ke bagian utara, melingkari jalur, menembus dua bukit sebelum tiba di bagian belakang rombongan yang dicurigai sebagai pasukan Raden Atmandaru.

Keadaan yang cukup gelap memberi keuntungan bagi Sukra. Pergerakannya tidak diketahui para perondan karena ia telah berbekal jalur dan waktu yang diberikan Lamija serta penjaga regol. Kuda tunggangannya pun seperti mengerti maksud serta tujuan Sukra, maka kuda itu tidak banyak meringkik  setiap kali berhenti ketika Sukra sedang memilah jalur. Malam telah mengapung sejauh seperempat bagian menjelang tengah malam pada saat Sukra melintasi bukit yang pertama. Ia berhenti sejenak, memanjat pohon dengan harapan dapat melihat cahaya obor yang dibawa rombongan asing itu. Dari sebuah dahan yang agak panjang, Sukra merasakan ketegangan yang luar biasa. Ia tercekam oleh suasana hingga napasnya tertahan beberapa lama. “Aku melihat tiga obor beriringan dalam jarak dekat. Terlalu sulit untuk membuat perkiraan jumlah mereka. Itu mustahil. Ah, bukankah aku harus dapat menyusup di antara mereka lalu menunggu tanda dari pedukuhan?” Sukra mengingatkan dirinya pada tugas sesungguhnya. Ia melompat turun, mencongklang kuda lalu mengikuti tanda perjalanan dari Lamija.

Sesuai perhitungan Pangeran Purbaya, Sukra telah berada di belakang rombongan. Sulit membuat perkiraan jarak dari orang terkahir yang berjalan pada tempat Sukra berdiri mengawasi. Ia tidak dapat ceroboh dengan melepaskan kuda begitu saja. Bagaimana bila kuda itu justru berlari ke arah barisan asing? Namun Sukra segera tahu yang dikerjakannya, penjaga regol sempat mengajarinya agar kuda tidak berlari liar. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan urusan itu, sekarang, Sukra menyusul barisan dengan berjalan kaki.

“Dari mana engkau?” tanya orang paling belakang pada Sukra.

“Aku tidak dapat mendengar perintah. Aku terlalu jauh untuk menyingkirkan sesuatu yang mengganjal di dalam perutku,” Sukra menjawab.

“Sepertinya memang tidak ada guna memanggil orang-orang Raden Atmandaru. Kita semua bergerak dalam pandu yang sama,” kata orang itu kemudian, “hey, apakah aku mengenalmu? Aku tidak pernah melihatmu sebelum ini.” Tatap matanya mulai tumbuh benih curiga.

“Aku bertugas sebagai pengawas di perbatasan Tanah Perdikan. Kepala reguku memberi tahu agar aku ikut dengan rombongan ini, lalu memberinya kabar agar segera mengunci jalan penghubung Sangkal Putung dengan Tanah Perdikan,” kata Sukra dengan nada tenang. Ia sedikit mampu mengendapkan rasa gugup. Gemblengan singkat Nyi Ageng Banyak Patra benar-benar membuat Sukra menjadi sosok yang berbeda!

“Ah, itu pemikiran bagus. Bagus sekali. Siapa namamu?”

“Gatra Bumi.”

“Wah, nama yang bagus sekali. Perkenalkan, namaku Pandulu Jaya tetapi aku sering dipanggil dengan sebutan Kembar Tameng Waja. Apakah engkau pernah mendengar nama Pager Waja? Seorang pengikut Raden Atmandaru yang membuat pasar Tanah Perdikan porak poranda? Ia adalah kakakku, namun sayang, ia tidak berumur panjang untuk mengikuti Raden Atmandaru dalam barisan. Agung Sedayu cukup licik dengan menjebaknya sehingga Pager Waja sulit meloloskan diri dari kepungan banyak orang-orang berilmu tinggi.”

Disebutnya nama Pager Waja, Sukra nyaris tidak dapat menahan senyum geli. Ia pernah berkelahi dengan pemilik nama itu di Tanah Perdikan. “Cerita yang cukup bagus, semoga aku percaya,” Sukra membatin. Meski sedikit gemas karena Agung Sedayu dianggap licik, namun supaya tidak terus menerus digedor dengan kisah yang akan membuatnya terbahak-bahak, Sukra kemudian berbisik, “Kita harus memusatkan perhatian. Mungkin saja kita akan menjadi orang hukuman bila berbicara meskti tidak begitu keras.”

Pandulu Jaya merenung sejenak, lalu dengan wajah yang dibuat gagah, sahutnya, “Benar. Kita memang sebaiknya memandang ke depan. Jangan sampai harapan yang sudah berada di ujung jari akhirnya terbang karena kita liar berbincang.”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.