Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 18

Rombongan besar itu kemudian berhenti di ujung jalan. Di depan rombongan mereka ada tikungan tajam. Perintah untuk merunduk pun tiba di barisan belakang. Mereka sudah menyelesaikan perjalanan. Menurut laporan petugas sandi Raden Atmandaru, keadaan jalan akan berubah setelah tikungan itu. Mendaki tajam dan bukan termasuk jalanan yang telah dipadatkan. Itu lebih tepat dikatakan sebagai jalan pintas. Setelah mereka dapat melewatinya, maka sebidang tanah lapang akan mereka jumpai. Tanah lapang itu cukup untuk menampung laskar perintis yang dikirim Raden Atmandaru dari pemukiman di tepi Kali Bogowonto.

Pemimpin rombongan tampak cukup hati-hati saat membawa iring-iringan memasuki Sangkal Putung. Kewaspadaannya patut mendapat pujian.  Ia mengirim tiga orang sebagai pendahulu sebelum semua orang berjalan mendaki.

“Apa yang kami lakukan?” bertanya salah seorang yang mendapatkan tugas pengamatan.

“Cukup berbahaya bila kita mengikuti jalan yang berbelok itu,” jawab pemimpin rombongan. “Kita tidak dapat melihat siapa yang berada di balik tikungan. Jadi, aku minta kalian mendahului kami. Aku akan kirim dua regu untuk membantu kalian membersihkan lingkungan.”

loading...

“Baik,” ucap mereka bertiga serempak. Mereka tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk latihan perang atau memahami gelar. Ini adalah batu uji pertama yang harus dapat dilalui laskar perintis sebelum memukul Gondang Wates. Mereka harus menguasai wilayah yang akan dijadikan tempat untuk membidik. Dan sepertinya tanah lapang itu dapat diharapkan sanggup memenuhi kebutuhan mereka.

Kewaspadaan pemimpin rombongan serba sedikit membawa pengaruh yang cukup baik bagi orang-orang yang berada di bawah pimpinannya. Beberapa orang terlihat sempat bertukar pandang tetapi sinar mata mereka menyiratkan kepercayaan tinggi pada pemimpin mereka. Genggaman senjata tidak ada yang mengendur. Setiap orang mengikatkan diri pada ucapan-ucapan dan perintah pemimpin rombongan.

Sejenak kemudian, pemimpin rombongan berjalan ke belakang. Dengan tubuh tetap merunduk, ia bertanya pada salah seorang ketua regu, “Bersiaplah.”

“Kejayaan, Ki Sor Dondong!” jawab ketua regu yang bernama Sadi sambil mengetatkan genggaman senjata. Ia meminta pengikutnya segera bersiap, meski belum mengerti maksud dari pemimpin rombongan.

Berikutnya, Ki Sor Dondong menemui ketua regu yang lain sambil mengulang perintah seperti sebelumnya. Tiga ketua regu bergegas memberi aba-aba pada barisannya. Sebentar kemudian, suasana menjadi tegang dan mencekam. Urat saraf dan otot-otot yang terlatih mulai mengeras seperti besi baja. Kaki-kaki mereka semakin kuat menapak di atas permukaan jalan.

Lima orang berkumpul di bagian depan rombongan. Ki Sor Dondong sedang membagi perintah pada empat ketua regu. ““Bila lawan telah bersiap dan kita melakukan kesalahan, akibatnya akan sangat buruk. Kita akan terkepung di tempat ini. Maka dari itu, aku katakana bahwa tidak boleh ada dari kalian yang mengambil seseorang sebagai tawanan. Itu menyusahkan dan jelas mengurangi simpanan bahan pangan kita. Bila bertemu, segera tuntaskan. Jangan tinggalkan mereka dengan sisa meski lawanmu terluka. Jaga keutuhan barisan kalian. Pergilah!”

Empat ketua regu bergerak. Merayap sunyi bersama orang-orang yang berada di belakang mereka. Sedikit pun mereka tidak berpaling ke arah rombongan. Buat apa? Tidak akan ada sinar mata penuh belas kasih yang mengiringi mereka sebagai tanda perpisahan. Ini bukan kisah asmara Panji, begitu kebanyakan isi hati mereka.

Cukup sulit untuk melihat gerakan mereka di dalam selubung malam yang bercahaya suram. Mereka merundukkan tubuh ketika mendaki. Mereka meratakan perut di atas tanah ketika melintasi permukaan datar. Tiada ada suara berdecak. Yang ada hanya desir kaki yang menginjak ranting kering, daun basah dan kewajaran lain pejalan malam yang melewati pekarangan atau hutan. Empat regu itu berjarak lima belas tombak dari tiga petugas intai.

“Apakah ini?” desis Sadi pada saat melihat tiga pengintai sedang berdiam diri sambil berjongkok.

Terdengar derap kuda dari sebelah selatan. Seorang penunggang tiba-tiba memotong tanah lapang kemudian berbelok kanan. Satu dari petugas intai tampak hendak menyergap, tetapi sebuah tangan mencegahnya.

“Mengapa?” tanya orang yang ingin menyergap.

“Kita hanya mengamati dan membersihkan lingkungan. Penunggang kuda itu? Kita tidak tahu siapa dirinya, bagaimana bila orang itu adalah Agung Sedayu atau adiknya? Tentu kita akan bernasib sial,”jawab orang yang mencegahnya.

“Baiklah.”

Sadi yang juga melihat pergerakan penunggang kuda lantas mengerutkan kening. “Penunggang itu bukan termasuk yang harus dibersihkan. Aku harap para pengintai tetap pada kewajibannya,” desis Sadi penuh harap.

Hampir tidak ada seorang pun dari rombongan Ki Sor Dondong yang mempunyai pikiran lain. Kecerobohan dan ketidakpatuhan pada Ki Sor Dondong adalah kerugian yang harus dipetik sejak awal, dan itu tidak pernah sebanding dengan yang akan mereka raih dari Sangkal Putung. Kejayaan dan kemuliaan serta harapan untuk membenahi penghidupan adalah bunga-bunga yang bermekaran di dalam hati mereka. Lantas, seberapa tinggi nilai mereka di hadapan Raden Atmandaru bila berhasil memukul roboh Gondang Wates? Tentu akan menjulang lebih tinggi dari Merapi dan Merbabu.

Mendadak serombongan peronda muncul di tanah lapang. Mereka menebar pandangan ke segala arah. Terdengar salah seorang mereka bertanya pada yang lain, “Apa engkau dapat memperkirakan arah kuda?”

Yang ditanya menggeleng.

Sadi menghitung jumlah mereka. Enam orang. Apakah mereka sedang mengejar penunggang kuda? Sadi bertanya pada dirinya.

Suara orang-orang yang berada di tanah lapang terdengar cukup keras. Mereka sepertinya tidak mengetahui bahwa ada serigala yang berkelompok-kelompok sedang mengawasi semua yang bergerak di sekitar tempat itu.

“Marilah, kita kembali ke pedukuhan.”

“Sebentar,” ucap salah satu dari mereka, “mungkinkah penunggang tadi bergerak ke pedukuhan induk?”

“Ah, lupakan. Kita akan menghabiskan waktu untuk berbantahan tentang sesuatu yang tidak kita ketahui.”

“Lalu, bagaimana kita memberi laporan pada Nyi Pandan Wangi?”

“Tidak ada yang perlu dikatakan pada beliau. Cukup kita sampaikan pada pemimpin gardu mengenai kehadiran penunggang kuda.”

“Hanya itu?”

“Hanya itu.”

Mereka berunding sebentar, lalu sepakat untuk meninggalkan tempat yang dinamai Karang Dowo oleh penduduk sekitar. Demikianlah mereka sepakat akan melaporkan rincian kejadian pada ketua regu penjaga agar dapat menjadi bahan masukan penting bagi Pandan Wangi.

Selepas para peronda Gondang Wates berlalu, diawali oleh Sadi kemudian tiga ketua regu yang lain memberi tanda untuk membuat pertemuan kilat dengan para petugas intai.

Manuk dares. Serak parau manuk dares meski lirih tapi cukup tajam menembus pendengaran para intai. Mereka segera menuju pusat kumandang pesan. Pembicaraan yang padat menguasai suasana pertemuan. Kemudian perintah Ki Sor Dondong berikutnya adalah mereka harus membuat pagas betis dalam jarak selontaran anak panah. Empat pemanah bergerak ke bagian tengah Karang Dowo, menghadap ke arah Gondang Wates lalu melepaskan anak panah mereka. Anggota laskar yang lain segera menempati wilayah sekitar jatuhnya anak panah. Penglihatan mereka lumayan tajam sehingga sedikit mudah mencari anak panah yang tertancap di permukaan tanah.

Tiga petugas intai kembali ke induk pasukan, memberi laporan mengenai perkembangan yang terjadi di Karang Dowo. Ki Sor Dondong cukup seksama mendengar tutur kata para intai. Jalan-jalan pikirannya segera bekerja. Cukup sukar memberi serangan kejutan apabila para peronda Gondang Wates terus bergerak. Sedangkan serangan kilat yang senyap adalah tanda keberhasilan menginjak Sangkal Putung pada awal hari.

Pertimbangan pertama Ki Sor Dondong adalah membuat keributan di pedukuhan induk sebagai pengalih perhatian. Namun, itu usaha yang remeh dan mungkin tidak berarti. Banyak peperangan yang sering diawali dengan cara yang sama. Keributan untuk mengalihkan perhatian lawan. “Siasat bodoh!” Ki Sor Dondong mendesis tajam. Jarak adalah pusat perhatian Ki Sor Dondong. Seberapa cepat laskarnya akan bergabung di Gondang Wates? Bagaimana bila mereka tertangkap? Itu adalah kerugian yang terpampang dalam benaknya. Pertimbangan kedua adalah segera menyerang tempat-tempat penting pedukuhan lalu menawan orang-orang yang mempunyai pengaruh. Namun, nama Pandan Wangi cukup membuat Ki Sor Dondong berpikir ulang. Siapa yang akan meladeni tandang singa betina Tanah Perdikan Menoreh? Mungkin ia dapat mengalahkannya, namun siapa yang mengendalikan laskar perang?

Ki Sor Dondong lantas menggerakkan pasukan agar segera menempati Karang Dowo. Namun begitu, pikiran Ki Sor Dondong tetap bekerja keras supaya dapat membuat perbedaan esok pagi dengan serangan cepat dan mengejutkan.

Di ujung belakang barisan, Sukra menutup rasa cemas dengan banyak memperhatikan cara lawan memegang senjata dan jenis rupa senjata mereka. Tidak ada yang dapat diperbuatnya lagi. Untuk membuat kegaduhan sesuai pesan Pangeran Purbaya pun belum dapat dilakukan. Ada beberapa pakem yang ditetapkan Pangeran Purbaya sebelum Sukra membuat kejutan dari dalam tubuh lawan.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.