Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 3 Membidik

Membidik 42

Keinginan Agung Sedayu pada saat itu pada Sekar Mirah adalah ia dan calon keturunannya dalam keadaan baik. Suatu hari, di masa lalu, Agung Sedayu pernah mengatakan, “Sebagai suami, aku ingin melakukan yang terbaik untukmu. Mungkin itu masih jauh dari cukup, tetapi sejauh ini, engkau baik-baik saja. Maka dengan begitu, aku pikir kehidupan keluarga kita berada dalam jalur yang tepat, mungkin. Orang menganggap kita terlalu lama hidup dalam keadaan berdua, tetapi kita tahu bahwa keturunan bukan berada di bawah kekuasaan manusia, dan kita sudah berbuat sebaik-baiknya dengan berbagai upaya. Pada hari ini, aku melihatmu begitu cepat bangkit dari peristiwa yang menimpa kita di Menoreh.” Untuk sejenak lamanya, Agung Sedayu tidak meneruskan kata-katanya. Ia sedang membandingkan keadaannya dengan Sekar Mirah.

“Saya tidak ingin Kakang meniup gelembung untuk sesuatu yang sebenarnya adalah hal yang wajar,” sahut Sekar Mirah. Perubahan besar memang terjadi dalam diri Sekar Mirah. Ia yang dahulu dikenal sebagai perempuan yang banyak meminta perhatian khusus, kini tak lagi ia menunjukkan sikap itu. Bahkan permintaannya pada Agung Sedayu agar tidak membesarkan kehidupan mereka cukup menjadi bukti perubahan itu sendiri. Namun, jauh di dalam hatinya, Sekar Mirah berandai-andai sekiranya Agung Sedayu tidak pergi bersama Swandaru ke Sangkal Putung. Ia mempunyai firasat buruk, tetapi keadaan berlangsung sangat cepat. Ia tanggap bahwa mengungkapkan firasatnya pada Agung Sedayu justru akan membuang waktu yang dimiliki senapati pasukan khusus. “Seandainya aku cepat menyampaikan perasaanku pada kakang Agung Sedayu,” desis hati Sekar Mirah saat itu.
Meski ia siap menerima segala kemungkian yang dapat terjadi, Sekar Mirah bukan orang yang berbeda dengan orang kebanyakan. Ia dapat larut. Bahkan mungkin ia kembali terhempas seperti ketika berada di padepokan Tambak Wedi. memang bukan orang kebanyakan. Janin yang dikandungnya telah dapat bergerak, Sekar Mirah mengetahui itu. Dalam waktu yang cukup lama, ia membelai perutnya yang semakin besar dan dua orang di dekatnya hanya memperhatikan tanpa suara.

“Aku tidak sendiri lagi,” berkata Sekar Mirah, “mungkin aku sempat merasa kehilangan kakang Swandaru. Oh, bukan sempat. Tetapi aku memang merasa kakang Swandaru telah menghilang.” Ia mengalihkan pandang pada Pandan Wangi yang berada di sebelah kirinya.

“Engkau memang tidak sendiri, Mirah. Namun aku menjadi heran dengan ucapanmu bahwa kakang Swandaru telah menghilang,” desah lirih Pandan Wangi yang merasa tidak nyaman dengan kata-kata adik iparnya. Bergolak banyak dugaan dalam benak Pandan Wangi. Salah satunya adalah mungkin Swandaru telah mati!

loading...

Meski Pandan Wangi mempunyai watak yang lebih kuat dan termasuk orang yang tidak mudah terpengaruh suasana, tetapi ia mendengar ucapan Sekar Mirah tentang penglihatannya. Dalam waktu itu, Pandan Wangi mencoba mendudukkan perasaannya agar lebih tenang. Mungkin ia sedikit lebih tertutup jika dibandingkan Sekar Mirah, tetapi, walau demikian, Pandan Wangi mempunyai sudut pandang yang mumpuni untuk menilai suatu persoalan.

“Kakang, apakah saya boleh bertanya?” lantun suara Pandan Wangi beralih ke Agung Sedayu.

“Tentu saja kalian akan bertanya, dan pasti bertanya. Sedangkan aku? Aku tidak dapat menghindari itu,” Agung Sedayu menanggapi dalam hatinya dengan kening berkerut. Kemudian ia menjawab, “Mengenai apakah itu?”

“Saya mempunyai pikiran, yang mungkin akan Kakang anggap sebagai kegilaan, dan saya merasa bahwasanya itu harus saya nyatakan di depan Kakang.” Pandan Wangi menundukkan muka. Debar jantungnya menjadi lebih cepat dengan tiba-tiba. Saat itu, bagi Pandan Wangi, adalah keadaan yang tidak lebih mengerikan jika dibandingkan dengan perang tanding dan ia sedang terdesak hebat. Ia menguatkan hati sebelum berkata lagi, “Ada sesuatu yang lebih penting dari kita bertiga. Persoalan yang lebih besar dari Sangkal Putung dan Tanah Menoreh.”

Udara begitu panjang mengalir melalui jalan napas Agung Sedayu saat menangkap getar yang berbeda dari nada Pandan Wangi. “Aku tidak ingin berpura-pura telah tahu pertanyaanmu, Wangi. Aku pun tidak ingin ada praduga yang melampaui pengetahuan dan kenyataan yang kita lewati bersama, “ kata Agung Sedayu.

Wedaran Terkait

Membidik 9

kibanjarasman

Membidik 8

kibanjarasman

Membidik 7

kibanjarasman

Membidik 61

kibanjarasman

Membidik 60

kibanjarasman

Membidik 6

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.