Ken Banawa sedikit berlega hati karena orang yang cukup mengkhawatirkan itu kini telah tak berdaya. Ia tegak berdiri beberapa langkah dari lingkar perkelahian Bondan. Meskipun begitu ada sedikit rasa penyesalan dalam diri Ken Banawa. Betapapun juga Mpu Gemana adalah orang yang juga ia harapkan dapat membantunya menuntaskan beberapa persoalan yang terjadi di wilayah utara Brantas.
“Mpu Gemana adalah orang yang hebat, Paman. Namun sayang sekali jika Ia harus tewas dengan cara seperti ini,” Bondan bergumam. Ia duduk di atas dua tumitnya sambil memandang raut wajah Mpu Gemana. Melihat sikap Bondan yang seperti menyesali kejadian itu, Ken Banawa menghampiri Bondan dan mengambil tempat di samping lelaki muda yang datang dari Pajang itu.
Sesaat Bondan merenungi dengan suara lirih seraya melihat kedua telapak tangannya, “Sepasang tangan..tangan dan tangan! Tetapi itu tidak mengenai diriku. Ini tentang kata-kata Eyang Gajahyana bahwa manusia hidup di dunia dengan tujuan paripurna.
“Eyang pernah mengatakan, ‘Selain kedua tangan dan kedua kaki, manusia juga dibekali perasaan serta kemampuan berpikir. Kemampuan ini jelas membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Semua itu bukanlah diberikan tanpa ada tujuan. Berkarya dan menikmati setiap ciptaan Yang Maha Sempurna adalah jalan lain untuk berterima kasih.’
“Ya, dan aku menyatakan terima kasih itu dengan membunuh seseorang.”
Penyesalan terdengar jelas dari kata-kata yang diucapkan oleh Bondan.
“Perasaan yang ada dalam hati setiap manusia akan menjadi penentu akhir, Bondan. Dan setiap orang mempunyai pengendalian yang bertingkat-tingkat dan berbeda,” ucapan Resi Gajahyana mendengung di bagian dalam pendengaran Bondan.
“Seorang lawan yang sangat hebat dan sama sekali tidak menunjukkan watak yang kasar melalui ucapan. Meski saya baru bertemu dengannya, tetapi saya dapat menduganya.
“Paman, mengakhiri hidup seseorang dengan kematian memang bukan jalan terbaik yang harus saya lalui. Peristiwa ini menempatkan saya berada di dalam sebuah ruangan yang berdinding merah. Perasaan berdosa. Saya telah membunuh seseorang,” lirih Bondan berkata dan didengarkan oleh Ken Banawa. Pemuda yang mempunyai kepandaian tinggi itu kembali menghempaskan penyesalan dengan menghela napas panjang. Ia bangkit berdiri sembari menyarungkan keris ke warangkanya dengan tangan gemetar.
“Sekalipun seseorang dalam hidupnya juga banyak melakukan kesalahan, tetapi saya tidak tahu apakah memang benar sebuah pembunuhan dapat menghentikan kejahatan? Kedahsyatan ilmunya, apakah telah ia gunakan untuk sebuah kebaikan?” bertanya Bondan pada dirinya dengan suara sedikit keras.
Ken Banawa menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Setiap orang telah menentukan jalan hidupnya, dan ia sering membuat keputusan berdasarkan persitiwa yang tengah berlangsung di sekitarnya. Sedikit yang mengajukan kejadian di masa lampau sebagai pertimbangan. Dan kau dapat melihat jika setiap keputusan selalu membuahkan akibat yang berada di luar harapan dan dugaan.”
Bondan merasa sesak dadanya dan jantungnya lebih cepat berdetak.
“Bagaimanapun juga kematian seperti ini adalah sebuah akibat yang tentu telah dipikirkan oleh Mpu Gemana, Bondan,” Ken Banawa mencoba memberi penjelasan kepada Bondan yang merasa gugup dan gelisah atas kematian Mpu Gemana.
Masih berkata Ken Banawa, “Tidak ada pilihan selain terbunuh atau membunuh ketika kita mendatangi tempat ini. Bahkan untuk berharap agar mereka mau menyerah itu pun akan sia-sia. Keduanya akan lebih memilih terbunuh daripada menyerah. Karena memang seperti itulah watak yang mereka tanamkan ke dalam hati masing-masing. Kadang kala sebuah kehormatan bagi penjahat adalah mati terbunuh.
“Sebagian orang di antara mereka menganggap menyerah adalah sikap yang dimiliki oleh para pengecut.”
Ken Banawa meraih tangan Bondan untuk segera berdiri seraya berujar, “Marilah! Kita kembali ke Trowulan. Dan tenangkan dirimu di sana.”