Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 1 Dua Utusan

Dua Utusan 6

“Baru saja kami makan pagi bersama Angger Bondan, Ki Banawa. Agaknya kami berdua akan memasuki gandok lagi karena mata kami tak akan mampu menahan kantuk karena kekenyangan,” berkata Ki Hanggapati tersenyum lebar. Ki Swandanu menganggukkan kepala dengan senyum kecil menanggapi gurauan kawannya.

Ken Banawa tersenyum. “Pertemuan ini akan menjadi menarik jika Angger Gumilang dapat bergabung dengan kita. Sayang sekali, ia tidak dapat menemani Kiai berdua karena tugas untuk berlatih bersama pasukan berkuda di Watu Golong,” Ki Banawa berkata seraya menatap pintu pringgitan yang belum terbuka.

Para pemimpin di Trowulan telah mengadakan pembicaraan khusus tentang itu. Laporan-laporan yang mereka dengar telah membawa mereka pada satu kesimpulan yang sama. 

Matahari Majapahit 1

loading...

“Nyi Retna pun belum keluar menemui kami berdua, Ki Banawa. Seperti yang dipesankan oleh Angger Sela Anggara bahwa ibunya akan keluar jika Ki Rangga telah hadir di pendapa,” berkata Ki Swandanu seakan mengerti isi pikiran Ken Banawa. Ken Banawa menganggukkan kepala lalu bangkit mendekati Ki Narto lantas memintanya untuk memanggil Nyi Retna.

Sejenak kemudian, perlahan-lahan derit pintu pringgitan terbuka dan Nyi Retna melangkahkan kaki menuju tempat ketiga lelaki yang seusia dengannya. Menyusul Bondan berjalan di belakang bibinya. Bondan kemudian duduk sebelah menyebelah dengan Ki Swandanu dan berhadapan dengan Ken Banawa. Sedangkan Nyi Retna mengambil tempat duduk agak jauh dari ketiganya, lalu berpaling pada Ken Banawa sambil berkata, ”Silahkan  membuka percakapan yang mungkin Kiai berdua ini sudah menahan diri semalaman.” Meskipun Nyi Retna telah mencapai usia setengah abad, namun garis-garis ketegasan tampak jelas dari sorot matanya. Usia lanjut itu tidak menutup kecantikan yang pernah terukir di wajahnya semasa muda.

“Baik,” kata Ki Banawa lalu bergeser sedikit maju. “Ki Sanak berdua, tentu saja kedatangan Kiai berdua dari Pajang bukan sekedar perjalanan biasa. Usia kita bertiga sudah terlalu banyak melewati segala basa basi, walau terkadang ingin berbincang tentang petualangan masa muda. Kedatangan Kiai berdua, tanpa bermaksud tidak  hormat, tentu ada alasan dari Eyang Gajahyana memanggil Bondan pulang ke Pajang.” Ki Banawa sekilas melihat arah Bondan.

Sri Jayanegara menatap tajam Dyah Balayudha. Kemudian ia berkata lagi, ”Aku tidak mengerti dan belum membuat sebuah kesimpulan awal. Karena kemungkinan dapat saja terjadi, sekarang ini, tepat di hadapanku!”

Matahari Majapahit 2

Dua tamu dari Pajang sejenak saling menoleh, Ki Hanggapati kemudian menyilahkan Ki Swandanu mewakili Resi Gajahyana.

“Riak dan gelombang yang terjadi di kotaraja telah terdengar hingga Pajang. Berita-berita tentang peristiwa di kotaraja, Sumur Welut dan Bulak Banteng tiba di Pajang secepat angin bertiup.” Ki Swandanu beringsut maju setapak.

“Begitu cepat pengamat sandi dari Pajang menebar keterangan sampai-sampai tidak secuil yang terlewat,” berkata datar Ken Banawa.

“Bukan seperti itu, Ki Banawa. Para pedagang yang menuruni lembah, menyeberangi sungai menebarkan berita itu dari mulut ke mulut. Perpindahan besar-besaran para pengikut setia Lembu Sora dan Gajah Biru sangat mencemaskan Resi Gajahyana.” Ki Swandanu berhenti sejenak. Lalu ia melanjutkan, ”Tentu Ki Banawa dan Nyi Retna telah mengetahui perpindahan pasukan yang cukup besar itu. Hingga hari keberangkatan kami berdua ke tempat ini, pasukan mereka telah tiba di tepi luar Pajang. Bhatara Pajang belum memberi perintah untuk menyerang atau menghalau KI Nagapati. Bahkan beliau juga belum memerintahkan agar prajurit Pajang segera bersiaga. Bhatara Pajang seperti tidak menganggap mereka ada. Sedangkan kita paham bahwa kekuatan Pajang memadai untuk mengimbangi kemampuan tempur pasukan Ki Nagapati.

“Walau demikian, meski ratusan orang berkumpul tanpa tempat tinggal yang layak, kami patut berlega hati bahwa tidak ada benturan maupun kekerasan yang timbul. Mereka tidak mengundang kecurigaan dari prajurit Pajang. Tidak pula ada gangguan dari kami dengan memancing perasaan mereka. Sehingga, kami berdua sempat berpikir, apakah hal itu sudah dalam pertimbangan Bhatara Pajang? Ataukah Eyang Gajahyana telah memberi beliau masukan penting? Namun, kami tidak bertanya-tanya.”

Bondan menautkan alis. Ia membayangkan sekelompok burung pemakan bangkai melayang rendah di atas binatang berdaging lunak. Kemampuan dari pasukan yang terlatih. Tekanan keadaan dan pandangan remeh orang-orang setempat bukan perkara yang mudah dilalui. Ketabahan hati yang seperti itu tentu akan sanggup membuat perubahan besar di dalam pertempuran, pikirnya.

Kemudian, Ki Hanggapati melanjutkan, “Kami mendengar bahwa Ki Tumenggung Nagapati mengirimkan utusan untuk menemui Bhre Pajang. Bhre Pajang meminta waktu barang sehari atau dua hari untuk memutuskan kesediaannya menemui Ki Tumenggung Nagapati.”

“Memang kami telah menerima kabar itu, Ki Swandanu. Saat pasukan yang dipimpin Mpu Nambi mengawal mereka keluar dari kotaraja, kami sedang terlibat pertempuran di Sumur Welut. Saya mendengarnya ketika utusan Mpu Nambi datang ke Pedukuhan Wringin Anom. Ia menyampaikan pesan agar saya secepatnya kembali ke kotaraja bila peperangan di Sumur Welut telah kami menangkan,” kata Ki Banawa. Sedikit keluar dari pokok persoalan, Ken Banawa meneruskan, “Saat itu kehadiran Bondan dan Mpu Drana benar-benar membantu kami memukul mundur pasukan Ki Sentot Tohjaya. Ditambah semangat juang para pengawal Wringin Anom dan Sumur Welut yang serba sedikit mampu membuat kecil arti perjuangan pasukan Ki Sentot.”

Sambil berjalan menjauh dari pintu bilik, Ken Banawa melanjutkan kata-katanya, “Baiklah. Kita berangkat malam ini dan kemungkinan kita akan berkumpul di Wedoroanom besok siang.

Matahari Majapahit 3

“Ki Tumenggung Nagapati,” desah Bondan perlahan, ”seorang tumenggung wreda. Salah seorang tumenggung yang dipercaya Ra Dyan Wijaya untuk memimpin satu pasukan khusus.”

“Pemimpin pasukan khusus?” terkejut Ki Hanggapati. Sesaat ia menundukkan kepala, lalu menoleh ke arah Ki Swandanu, seraya melanjutkan, ”Mungkin itu juga jadi latar belakang Bhre Pajang tidak mengizinkannya masuk kota Pajang. Namun juga tidak bersedia mengusir keluar dari wilayah Pajang.”

“Itu bisa menjadi satu alasan yang ada, Ki Hanggapati.” Ki Swandanu kemudian menyapukan pandangan lalu katanya, ”Mereka adalah sekelompok orang yang benar-benar tangguh. Jika mereka adalah satu pasukan khusus, maka saya dapat mengerti salah satu alasan Eyang Gajahyana mengirim kita ke sini.”

Wedaran Terkait

Dua Utusan 8

kibanjarasman

Dua Utusan 7

kibanjarasman

Dua Utusan 5

kibanjarasman

Dua Utusan 4

kibanjarasman

Dua Utusan 3

kibanjarasman

Dua Utusan – 2

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.