Padepokan Witasem
cerita silat jawa, bara di borobudur, cerita silat majapahit, cerita silat bondan, cerita silat kolosal
Bab 7 Taring yang Mengancam

Taring yang Mengancam Pajang 12 – Kehadiran Rahasia Ki Nagapati yang Mengkhawatirkan

Bintang berjingkat pelan meninggalkan para cantrik padepokan yang satu demi satu beringsut mundur menuju bilik masing-masing. Beberapa di antara mereka telah membentuk kelompok untuk meronda lingkungan sekitar padepokan.

Para peronda terkadang menempuh perjalanan melingkari pedukuhan. Mereka berjalan begitu jauh dari padepokan untuk sekedar memberi rasa aman pada penduduk sekitarnya, bahkan tak jarang mereka bekerja bersama untuk mengadakan penjagaan. Sekali waktu para peronda harus berkelahi dengan kawanan orang yang mengendap yang tengah menuntun binatang peliharaan penduduk. Dan pada saat seperti itu, para cantrik Resi Gajahyana benar-benar mampu menunjukkan kemandirian dalam menjalankan kewajiban. Luka parah kerap mereka terima namun itu sama sekali tidak mengurangi keberanian mereka dalam menegakkan keamanan. Tak jarang mereka harus melewati pertarungan kecil dibantu oleh peronda dari pedukuhan saat menghadang segerombolan orang yang merusak lahan pertanian penduduk.

Dalam waktu itu, Bondan terpaksa meninggalkan para cantrik yang masih berkerumun mengelilinginya.

“Bondan!” seru pelan seorang cantrik yang berusia sedikit lebih tua darinya,”Eyang memanggilmu.” Bondan berpaling padanya lalu mengangguk. Ia minta diri pada semua temannya kemudian bangkit berdiri menuju tempat Resi Gajahyana sedang menunggunya.

loading...

Dentang jantung Bondan memukul dinding rongga dadanya ketika pintu bilik Resi Gajahyana berada dua langkah di depannya. Jemari Bondan berhenti saat akan mengetuk pintu. Ia merasa gelombang rindu menggulung segenap hatinya. Gemetar kaki Bondan serasa tak mampu menopang berat tubuhnya saat arti kehormatan yang disusupkan Resi Gajahyana menangkup penuh kasih.

“Masuklah!” lirih suara Resi Gajahyana menembus batas sukma Bondan, anak muda yang dengan perkasa dan gagah mampu menghentikan perjalanan Ki Cendhala Geni.

Derit pintu pelan beriring dengan langkah kaki Bondan memasuki ruang khusus gurunya. “Eyang!” nyaris tak terdengar Bondan berkata. Ia tak sanggup mengangkat wajah saat mencium punggung tangan gurunya. Sikap yang berbeda dari yang ia lakukan pada siang hari ketika datang dan melihat paras Resi Gajahyana. Bondan bersimpuh di depan gurunya beberapa jengkal di atas tikar pandan. Bondan seperti tidak menyadari ada dua pasang mata sedang menatap kagum padanya.

“Bondan,” kata Resi Gajahyana kemudian, ”Angkat wajahmu. Kau telah tiba kembali di padepokan ini dengan selamat. Bahkan aku telah melihatmu telah menjadi seseorang yang berbeda dari saat kau tinggalkan tempat ini.”

“Eyang!” sahut Bondan dengan wajah masih terbenam dalam-dalam.

Resi Gajahyana berpaling pada dua orang lelaki yang duduk merapat pada dinding bilik bagian kanan. Keduanya membalas tatapan lembut penuh wibawa itu dengan anggukkan kepala. Kao Sie Liong dan Zhe Ro Phan bergeser mendekat dan mereka mengambil tempat di belakang Bon-dan.

Kembali Resi Gajahyana menggetarkan udara dingin dengan suaranya,”Dua orang dari tanah yang sangat jauh telah tiba di tempat ini jauh sebelum kau datang siang tadi. Mereka berada di belakangmu.”

Bondan mengangguk.

Resi Gajahyana melanjutkan, ”Mereka adalah orang yang baik dan aku ingin kau dapat bekerja sama dengan mereka.”

Kerut kening Bondan mendengar kata-kata gurunya, lalu, ”Bekerja sama? Eyang, aku tidak melihat sebuah kepentingan untuk kerja sama ini. Aku belum mendengar berita apapun bahkan aku sedang tidak ingin berbuat apapun.”

Sang resi menarik napas panjang sambil tersenyum, katanya, ”Kau mencoba berkelit. Seorang lelaki muda yang mampu menarik perhatian seorang patih Jenggala tentu bukan lelaki biasa.” Resi Gajahyana menebar pandang kemudian berkata lagi, ”Mungkin kau ingin mengambil masa sejenak untuk melenturkan seluruh urat syarafmu, tetapi kau tidak akan mampu lari dari mereka berdua.”

Bondan menghirup udara sambil memejamkan mata. Terbayang olehnya sebuah perjalanan yang akan kembali terulang. Pertempuran, darah dan segala akibat yang akan ditimbulkan oleh satu sebab yang belum ia mengerti. Bondan menggeser letak duduknya, kini ia dapat melihat dua orang dari tanah seberang yang tersenyum padanya.

“Maafkan saya, Ki Sanak berdua!” Telapak tangan Bondan tertangkup dengan dada sedikit merendah.

Kao Sie Liong cepat meraih pundak Bondan, katanya,”Tak perlu ada yang dimaafkan, Bondan. Kami menyadari bahwa kau baru saja melewati masa yang sangat sulit.”

“Kami akan berada di sini dan bersamamu sepanjang waktu,” Zhe Ro Phan menambahkan.

“Bondan?” tegur Resi Gajahyana sejenak kemudian setelah keadaan menjadi hening ketika Bondan mamandang lantai bilik beberapa waktu lamanya.

”Eyang,” Bondan menegakkan kepalanya. ”Saya sedang teringat ketika kami telah mencapai lereng Wilis, satu peristiwa terpaksa kami lewati dengan lumuran darah.” Bondan diam sejenak, ia kembali menghela napas untuk menata perasaan yang tengah bergolak saat mengenang pengeroyokan para pengawal Sima Menoreh oleh orang-orang Padepokan Sanca Dawala. Kemudian ia melanjutkan, ”Lalu saya sadar dan melihat bahwa telah muncul ancaman yang mungkin akan mengalirkan darah sepenuh tlatah Pajang.”

“Dan kau membiarkan mereka bergerak leluasa?” bertanya Resi Gajahyana dengan sinar mata penuh rahasia.

Raut wajah Bondan sedikit tegang, ia melirik sekilas pada dua orang yang berada di sampingnya. Kemudian jawabnya, ”Tentu Eyang telah mempunyai masukan yang telah dikelola sebagai bahan agar saya bekerja sama dengan mereka berdua.”

Dari bawah alis yang memutih, Resi Gajahyana lurus memandang wajah Bondan lalu berkata, ”Tentu kau telah mendengar atau mungkin kau telah berbicara seorang prajurit berusia tua dengan wibawa yang besar dan berpangkat tinggi.”

Bondan menarik napas dengan mata terpejam mencoba mengingat sosok yang dimaksud oleh gurunya.

Kemudian Resi Gajahyana berkata pada lelaki muda yang digemblengannya semenjak usia anak-anak, ”Semestinya kau telah mendengar pergerakan pasukan Ki Nagapati semasa kau masih di timur.”

“Saya memang melihat Ki Nagapati pergi meninggalkan kotaraja,” ucap Bondan menegakkan punggungnya.

“Bukankah Bhre Pajang telah memberi tempat pada Ki Nagapati, Eyang?” Kao Sie Liong mengungkap pemikirannya.

Tetapi Resi Gajahyana mengabaikan Kao Sie Liong sementara waktu. Ia memberi Bondan waktu yang cukup untuk mengenang orang yang dijumpainya. Kata Resi Gajahyana, ”Ki Nagapati telah berada di sekitar Pajang dengan pasukan lengkap. Mereka datang kemari dengan membawa serta keluarga mereka. Dan, Ki Wisanggeni pun telah berada di Pajang dengan sejumlah orang yang telah dilatihnya untuk menjadi prajurit yang tangguh.”

Resi Gajahyana memilih diam. Satu demi satu wajah dari tiga orang yang duduk bersimpuh di hadapannya menerima sorot mata yang lembut, lalu berpaling pada Kao Sie Liong, katanya, ”Penempatan Ki Nagapati dan orang-orangnya bukan satu jalan keluar. Dan Ki Nagapati bukan orang yang haus kekuasaan.”

“Dengan ratusan orang yang mahir menggunakan senjata dan menguasai banyak gelar perang, Ki Nagapati bukan orang yang dapat diabaikan,” kata Kao Sie Liong.

“Kehadiran Ki Nagapati bukan bahaya yang patut diperhatikan meskipun tidak menutup kemungkinan ia dapat berubah pikiran,” Resi Gajahyana lurus memandang Kao Sie Liong.

“Dua orang yang dapat menghempas Pajang dalam waktu singkat jika mereka mengadakan kerjasama,” kata Bondan kemudian. Bergantian ia memandang tiga orang yang berada dalam ruangan. Lalu,”Apakah Ki Banyak Abang telah membicarakan dua orang senapati kuat itu dengan Eyang?”

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi tangkapan layar dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.

Wedaran Terkait

Taring yang Mengancam Pajang 9

kibanjarasman

Taring yang Mengancam Pajang 8

kibanjarasman

Taring yang Mengancam Pajang 13 – Kata-Kata Bijak Seorang Guru

kibanjarasman

Taring yang Mengancam Pajang 11 – Pertemuan dengan Resi Gajahyana

kibanjarasman

Taring yang Mengancam Pajang 10 – Hari Baru di Balik Ancaman

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 7

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.