Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 22

Sementara itu, sepanjang pengamatannya dari tempatnya berada, Sukra dapat melihat bahwa pasukan segelar sepapan yang dipimpin Ki Sor Dondong sama sekali tidak menunjukkan tanda kebesaran atau ciri tertentu yang mencolok mata. Segalanya terlihat biasa saja.

Keributan yang terjadi di sayap gelar pasukan Raden Atmandaru memancing perhatian sebagian besar orang. Sukra memanfaatkan kesempatan itu untuk menjauh dari gunduk tanah yang ditempatinya bersama-sama barisan prajurit lawan. Meski demikian, Sukra tidak gegabah membuat  lintasan yang memotong gelar inti. Ia mengambil arah memutar, menyisir bagian luar dari gelar sambil tetap mengamati perkembangan yang terjadi pada barisan lawan. Meski waktu yang dimilikinya begitu singkat, Sukra mengetahui isyarat-isyarat yang biasa digunakan untuk meminta jalan atau meminta seseorang agar membiarkannya lewat. Beberapa orang melihat Sukra dengan perasaan heran, namun ketika Sukra dapat memberikan tanda bahwa ia termasuk golongan mereka, maka sorot mata curiga pun sirna.

Sejenak kemudian ia berjalan lambat sambil merenung, bagaimana bila ada orang yang menjadi pengiringnya agar tidak ada kecurigaan dari banyak orang yang pasti melihatnya menyisir gelar? Sukra juga bertanya pada dirinya, bagaimana Gondang Wates dapat bertahan bila pasukan yang terbentang luas itu benar-benar mampu melewati pertahanan terluar Pandan Wangi?

Hamparan besar yang tersusun dalam gelar Supit Urang tetap bergerak. Mereka bergerak maju dengan kecepatan yang sama. Sukra maju selangkah, begitu pun pasukan Raden Atmandaru.  Gangguan yang ditimbulkan pengawal pedukuhan pun sedikit demi sedikit dapat diredam oleh senapati prajurit Ki Sor Dondong. Mereka berbekal kepercayaan diri yang tinggi sehingga hanya sedikit orang yang turun membenahi kekacauan yang ditimbulkan oleh regu penganggu yang dikirim Pandan Wangi. Seiring perkembangan di bagian utara gelar Supit Urang, mereka telah melampaui dua bidang pategalan kering yang terpisah oleh jalan yang dipadatkan. Selanjutnya mereka akan melewati satu bulak panjang lalu tugu batas Gondang Wates pasti terlihat.

loading...

Sukra tercenung ketika mengetahui bahwa kekacauan telah dipadamkan. Ini tidak seperti yang diperkirakannya. Keningnya berkerut. Apakah ia akan membuat kegaduhan yang sama dengan pengawal pedukuhan di sayap selatan? Itu bukan perbuatan gampang. Banyak orang yang mempunyai kemampuan lebih tinggi darinya. Banyak senjata yang siap memotong-motong tubuhnya menjadi banyak bagian. Salah membuat keputusan atau memperhitungkan waktu? “Ambyar! Aku hanya menjerumuskan Sangkal Putung ke bagian yang menghancurkannya,” desis Sukra dalam hati.

Fajar terasa merayap lebih lambat dari siput yang merangkak di atas pelepah pisang. Tenggorokan Sukra mendadak menjadi kering. “Apakah aku harus keluar dari barisan lalu berteriak mengabarkan persiapan ini?” Sukra ingin mengeluh dalam hatinya sementara angin sepoi-sepoi yang melewati telinganya seakan mengingatkan tegas, “Keluarlah maka semua kawanmu akan terbunuh!”

Seolah tidak ingin ketinggalan dari setiap perubahan di dalam gelar, Sukra pun membuat keputusan yang mengejutkan. Jantungnya berdetak lebih cepat dengan wajah terasa hangat dan mungkin berubah menjadi pucat. Namun ia bulatkan hati karena perubahan berjalan demikian cepat. Ia menghampiri orang yang terdekat dengannya, lalu bicara bahwa ia sedang mengemban tugas pengamatan di ujung sayap selatan agar memudahkan mereka menduduki Gondang Wates. Mereka pun menjauh dari barisan, menyusup di antara rimbun semak atau rumput liar yang tinggi, dan pengiring Sukra jatuh telungkup!

Sukra memandang sepasang telapak tangannya yang bergetar hebat. Pukulan yang mengandung tenaga cadangan yang diajarkan oleh Nyi Ageng Banyak Patra telah menghilangkan nyawa seseorang. Sukra belum sekalipun membunuh orang dengan tangan kosong. Tewasnya Ki Bluluk Rambang pun dengan sabetan pedang. Tetapi pada awal pagi itu? Sukra merasa tiba-tiba dihinggapi rasa bersalah lalu diburu dengan hebat oleh perasaan itu. Mungkinkah ia akan berubah menjadi seorang pembunuh berdarah dingin? Jika tidak, mengapa ia memukul prajurit lawan dari belakang? “Aku sudah memperhitungkan bila harus beradu dada maka itu akan memancing keributan dan orang-orang akan berlarian ke tempat ini. Aku sudah bertindak benar, aku sudah benar,” ucap Sukra sambil mengulang kalimat terakhir. Untuk beberapa waktu, Sukra menenangkan diri. Mengurangi jumlah lawan dengan tangan kosong adalah perbuatan yang dilakukannya pertama kali, dan juga tidak sedang dalam perkelahian. Sukra membokong lawan, tetapi ia harus menguatkan keyakinan tentang keputusannya itu.

Selanjutnya ia bergerak lagi dan sepertinya tertinggal beberapa langkah dari kelompok terakhir dari orang yang dimintanya menjadi pengiring. Ia segera menghentak kecepatannya melintasi tumbuh-tumbuhan yang mermbujur lintang pada jalur yang akan dilaluinya. Kemudian Sukra mengendap, mengawasi lalu memilih orang yang akan dipilihnya sebagai kawan dalam pengintaian akhir – demikian alasan Sukra pada orang pertama.

Berhasil!

Ibarat harimau tutul sedang mengincar mangsa, mengejar lalu menancapkan taring pada leher mangsanya maka Sukra melakukan itu sebanyak dua kali. Tetapi orang itu sempat memutar tubuh karena curiga ketika Sukra tiba-tiba berjalan lambat. Anak buah Ki Sor Dondong sangat terkejut, tetapi ia tidak sempat membuka suara. Mendadak pandangannya menjadi gelap lalu napasnya terputus ketika tinju Sukra tepat mengenai tenggorokannya!

Ketika perasaan bersalah dan keraguan untuk meneruskan keturutsertaannya dalam pertempuran mulai menyergapnya, Sukra mendengus. Ia menepis segala gejolak dengan segenap kekuatan jiwaninya. Ini adalah tentang tanggung jawabnya pada Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Gede Menoreh bahwa ia datang dengan tujuan membantu Sangkal Putung.  Ini mengenai kelangsungan hidup orang banyak yang bergantung pada kesuburan tanah Sangkal Putung. Ini adalah kepercayaan dari Pangeran Purbaya. Ini tentang Mataram!

Seiring dengan aba-aba yang terdengar dari bagian utara pasukan Ki Sor Dondong, suara gaduh tiba-tiba terdengar dari dua kelompok yang kehilangan anggotanya. Mengetahui keributan itu, Sukra berpikir bahwa tidak mungkin baginya untuk bergabung lagi dengan pasukan meski dapat menempatkan diri pada barisan paling belakang. “Mereka akan curiga padaku. Namun, bagaimana bila tidak? Ah, aku harus melupakan itu. Berada di ujung belakang barisan tidak akan memberiku ruang yang cukup untuk melakukan sebuah tikaman,” tegasnya dalam hati.

Dan keributan itu segera tenggelam oleh suara melengking tinggi yang terdengar menyahut dari sisi seberang, pasukan berhenti. Sejumlah orang memasang anak panah, lengan membentang, ratusan anak menunggu perintah untuk dibidikkan. Sementara dari bagian tengah gelar tampak kesibukan orang-orang yang menempatkan alat pelontar pada kedudukan yang tepat. Pemimpin kelompok begitu cermat mengamati setiap sudut agar panah besar tidak melenceng dari sasaran ketika dilepaskan.

Persiapan lawan begitu cepat! Mereka tangkas menyiapkan senjata-senjata yang diperlukan untuk serangan jarak jauh. Para pemanah dari kubu Raden Atmandaru telah menekuk sebelah lutut dan duduk di atas tumit,  bersiap melepaskan anak panah dari balik rumput liar yang tinggi. Ini akan menjadi serangan yang sangat mengejutkan bila Pangeran Purbaya dan Pandan Wangi tidak menyentuh kemungkinan yang lain.

Sekejap kemudian, fajar benar-benar merambat pelan, perintah pun dijatuhkan!

“Itu..itu benar-benar cara yang gila untuk menyerang!” Rasa cemas membayangi hati Sukra sangat cepat. Sepasang kaki Sukra berayun. Pengawal muda Tanah Perdikan Menoreh ini seolah sedang berpacu dengan ratusan anak panah yang membelah angkasa! Ia harus segera tiba di barisan depan para pegawal Sangkal Putung. Lalu, di mana mereka berada? Sudahlah, yang penting bagi Sukra adalah berada di balik dinding perbatasan secepat mungkin!

Desing ratusan anak panah berkelebat deras, meluncur cepat, melewati seperempat bagian bulak, lalu menghujani semua bagian yang terjangkau. Seperti hujan yang turun deras, seperti itu pula anak panah yang dilontarkan oleh pasukan Ki Sor Dondong. Panah menancap di permukaan jalan, atap-atap rumah, dan tak sedikit yang sanggup menggores kulit para pengawal di baris depan.

Melalui petugas penghubung, Pangeran Purbaya dan Pandan Wangi tidak henti memerintahkan para pengawal agar tetap bertahan pada kedudukan masing-masing. Seandainya seorang pengawal roboh karena terhunjam anak panah, maka teman di sampingnya harus tetap bertahan di tempatnya. Perintah ini begitu tegas. Meski sempat menimbulkan keraguan karena mereka masih dilarang untuk membalas, para pemimpin regu tiada lelah menjaga bara semangat kawan-kawannya.

“Mereka begitu pandai mengguncang perasaan lawan,” kata Pangeran Purbaya lirih.

Pandan Wangi mengangguk, lalu berkata, “Sepertinya mereka mempunyai pengalaman tempur yang mengesankan, Pangeran.”

Kini Pangeran Purbaya yang mengangguk lalu berpaling pada putri tunggal Ki Gede Menoreh itu sambil berucap, “Mungkin hari ini dan berikutnya akan terasa begitu panjang.”

“Dimengerti,” sahut Pandan Wangi yang kemudian memanggil seorang penghubung lalu memintanya agar segera menuju kediaman salah seorang bebahu padukuhan. “Pastikan kita masih mempunyai bahan pangan yang cukup,” perintah Pandan Wangi.

“Segera, Nyi,” kata petugas itu lalu bergegas menuju rumah yang dimaksud.

“Bagaimana dengan Swandaru?”

“Saya tinggalkan pesan seperti yang Pangeran kehendaki.”

“Baiklah, Swandaru akan menjadi kunci dari susunan benteng yang telah kita bangun. Meski ada keraguan dalam hatiku, aku pikir segalanya akan menjadi lebih baik bila aku memberimu kepercayaan penuh.”

Pandan Wangi menundukkan wajah tanpa berkata-kata. Baginya, sebenarnya cukup berat untuk bertempur seorang diri. “Bagaimanapun, masukan-masukan dari Kakang Swandaru sangat berarti penting bagi ketahanan seluruh pasukan,” desis Pandan Wangi sambil membayangkan sedang bicara dengan Swandaru yang berdiri berhadapan dengannya. Namun ia harus kembali pada kenyataan bahwa Swandaru tidak berada di dekatnya. Pada saat itu, yang terdekat bagi Pandan Wangi adalah musuh mereka sendiri! Mereka akan semakin dekat dan dekat hingga jarak begitu rapat!

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.