“Nah, itulah yang aku katakan bahwa hanya orang dungu yang bersedia melakukannya.” Arya Penangsang menyelidik kedalaman sorot mata lawan bicaranya. “Sebagai tempat pembuatan senjata, setidaknya Anda tahu pasti bahwa penjagaan akan dilakukan dengan ketat dalam jarak ratusan langkah sebelum tapal batas pedukuhan. Senjata rahasia telah berada di gerumbul perdu, di banyak dahan, di balik pokok pohon, dan semua itu siap diluncurkan meski para pelontar hanya mendengar langkah seekor kelinci kecil. Keberadaan Sambi Sari sebagai tempat membuat dan memasok senjata hanya diketahui prajurit. Orang biasa? Hmm, aku tidak begitu yakin ada yang tahu.”
“Saya, Kanjeng Adipati.”
“Ki Tumenggung, Anda tentu paham dan pasti telah mendengarnya. Bahkan bukan tidak mungkin Anda mengetahui rencana besar itu dari paman Trenggana.”
“Benar, Tuan.” Tubuh Ki Suradilaga sedikit membungkuk.
“Bila kita berpikir sedikit lebih maju dan Anda dapat lebih jernih merenungkan pekerjaan ini, bukankah ada semacam perangkap di tempat ini?”
“Kanjeng Adipati. Saya hanya berpikir bahwa tugas ke Sambi Sari adalah untuk memastikan kesiapan pesanan Raden Trenggana. Tidak lebih dari itu. Apakah beliau telah memesan atau pesanan itu datang dari Adipati Hadiwijaya? Saya tidak tahu. Maka, apabila ini semua adalah jebakan bagi saya, sejujurnya, apa keuntungan yang bakal diunduh?”
“Pertanyaan bagus. Kita tidak perlu tahu siapa yang menjadi pemesan, tetapi saya bertanggung jawab dengan perkataan yang akan saya ucapkan.”
“Saya, Kanjeng Adipati.”
“Ki Tumenggung, Anda mendengar dan pasti mengetahui rencana paman Trenggana di seberang timur.”
Ki Suradilaga tidak memberi tanggapan. Ia lebih berhati-hati menghadapi Arya Penangsang yang terlihat tenang dan menguasai keadaan saat itu.
“Senjata dari Sambi Sari bukan sejenis perlengkapan yang dapat digunakan untuk pertempuran di tengah laut. Anda pasti tahu itu. Bahkan setiap besi tumpul yang keluar dari wilayah ini pun sulit untuk dipindahkan melalui jalan darat. Bila Anda mempunyai perkiraan, lebih baik Anda ungkapkan selagi saya masih berada di Pajang. Tidak harus malam ini.”
“Tuan Adipati Penangsang, kedatangan saya ke tempat ini tidak berhubungan dengan senjata-senjata yang akan keluar. Saya menyampaikan pesan pemimpin Demak dan saya telah tunaikan. Jarak perairan dari tempat ini sudah begitu jauh. Butuh waktu sehari untuk memindahkan besi-besi berat ke tepi bengawan. Dan, dalam waktu ini, saya tidak mempunyai wewenang untuk mengembangkan suatu dugaan.”
“Anda mempunyai kewibawaan, Ki Tumenggung. Saya harus duduk lebih rendah dari tempat Anda. Dalam pikiran Anda, sehari adalah waktu yang rawan untuk diserang apabila orang-orang mulai mengalihkan peralatan. Ya, saya paham.” Selidik pandang Arya Penangsang kembali menggetarkan dada Ki Suradilaga. Di semua jalur pikirannya, Arya Penangsang masih mencari kemungkinan yang menghubungkan pembuatan senjata di Sambi Sari dengan penyerangan yang akan datang dari lereng Merbabu. Penguasa Jipang itu telah menelusuri jalanan hingga merasa bahwa kelok pegunungan tidak mempunyai akhir. Di tengah pekerjaannya, pengamatan adipati Jipang telah sampai pada kesimpulan akhir : bahwa dusun itu sangat sulit ditundukkan walau Pajang mengerahkan segenap kekuatan prajuritnya.
Jalanan yang berkelok melewati dataran tinggi seperti membuat orang tengah berjalan di negeri atas awan. Di sebuah bukit rendah, di sebuah dusun, satu persiapan tengah dilakukan oleh orang-orang yang tidak menghendaki Jaka Tingkir berada di Pajang. Dalam waktu itu, ia mendengar nama Ki Sembaga disebut banyak orang sebagai pemimpin kelompok.
Berderet rumah rapi di sepanjang sisi sungai kecil yang berkelok-kelok sebelum alirannya menghilang di balik belantara. Ketika ia beralih ke arah berlainan, sejumlah rumah berserak tidak beraturan. Seoah-olah tidak ada yang mempunyai pengaturan rapi seperti di tepi sungai, tetapi ia tahu bahwa persebaran itu adalah jebakan. Secara umum, bila dilihat keseluruhan dari ketinggian tertentu, maka pemukiman itu cukup memadai untuk menjadi benteng yang kuat.
“Mereka akan menuruni lereng seperti tanah longsor saat musim hujan,” gumam Arya Penangsang waktu itu, “bila itu terjadi, Pajang akan tenggelam. Perlambang yang melekat pada Sabuk Inten, bisa jadi, akan menjadi dasar pemikiran Ki Sembaga untuk memunculkan kekuatannya. Tetapi aku tidak melihat hasrat yang sangat kuat dari dua matanya. Apakah ia memang tidak mempunyai keinginan seperti yang dikabarkan orang-orang? Ataukah ia adalah seekor pemangsa yang sabar menunggu hingga hari menjadi gelap?”
Bersambung Cerita Silat Jawa Demak Bab 3 Pangeran Benawa