Toh Kuning mengangguk dan ia dapat menerima penjelasan gurunya yang ternyata memang sengaja menyembunyikan keadaan Ken Arok. Meski ia belum mampu meredakan guncangan perasaan tetapi Toh Kuning memaksa diri untuk diam. Diam dan mendengarkan.
Sepanjang hari itu Toh Kuning tidak lagi melakukan latihan seperti biasa ia lakukan. Ia banyak duduk berdekatan dengan gurunya. Berbagai wejangan dan petunjuk-petunjuk dari gurunya terkait perkembangan ilmunya pun seolah turun seperti air hujan.
Menjelang petang, derap kaki kuda terdengar hingga padepokan. Kepulan debu tebal yang terbang di antara kaki-kaki kuda yang berlari kencang terlihat jelas dari regol padepokan. Dua panji kebesaran Kerajaan Kediri dan lambang pasukan semakin jelas terlihat saat mereka makin dekat padepokan.
Toh Kuning lekat memandang raut wajah gurunya yang masih memejamkan mata. Toh Kuning sebenarnya tidak ingin meninggalkan padepokan, bahkan ia cenderung memilih untuk menghadapi satu kelompok pasukan Kediri yang telah memasuki lingkungan padepokan.
Gubah Baleman berkuda paling depan, panji-panji yang dibawa oleh dua orang prajurit pengapitnya membuat kesan gagah bagi rombongan prajurit Kediri. Sebuah tanda kepangkatan yang lebih tinggi tersemat rapi di bagian depan pakaian yang dikenakan olehnya.
Sri Baginda Kertajaya tidak melupakan jasa baik dan karya nyata perwira prajuritnya. Tanggung jawab Gubah Baleman adalah untuk memastikan keamanan Jalur Banengan sampai perairan dan lembah Kali Brantas dan itu dapat ia tunaikan dengan baik.
Pengakuan lain datang dari Mahesa Wunelang. Ia mengagumi hasil kerja Gubah Baleman yang kini menjadi seorang rangga. Sri Baginda Kertajaya juga memberi penghargaan khusus bagi Mahesa Wunelang sebagai tumenggung dengan satuan prajurit khusus, di samping tanggung jawabnya sebagai panglima tertinggi Kerajaan Kediri.
“Biarkan aku yang berbicara dengan mereka, Ngger. Aku merasa bila waktu itu akan semakin dekat,” kata Begawan lantas Toh Kuning menganggukkan kepala meski sebenarnya ia ingin menolak permintaan gurunya. Terbersit rasa cemas akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada gurunya, tetapi ia lebih percaya bahwa Begawan dapat menghindari kemungkinan terburuk. Oleh karena itu, Toh Kuning kemudian menata hati untuk segala kemungkinan.
“Begawan,” kata Gubah Baleman menyapa Begawan Purna Bidaran setelah ia melompat turun dari punggung kuda. Sejenak ia mengerling Toh Kuning dengan pandangan sedikit menusuk. Namun Toh Kuning dapat menahan diri lalu ia membungkuk hormat pada Ki Rangga Gubah Baleman.
Begawan Bidaran kemudian mempersilahkan para prajurit Kediri untuk memasuki bangunan utama padepokan, sementara Toh Kuning bergegas melangkah ke dapur yang berada di dekat halaman belakang. Ia mengajak serta beberapa cantrik untuk menyiapkan makanan dan minuman sekedarnya bagi prajurit Kediri.
Para prajurit Kediri itu kemudian mengagumi bagian dalam bangunan yang mempunyai empat pilar kayu jati yang kokoh.
Mereka memandang lukisan-lukisan yang menempel pada dinding. Ada lukisan yang bercorak timbul karena terbuat dari serbuk kayu yang telah dicampuri dengan semacam perekat. Ada lukisan yang mempunyai corak seperti pahatan-pahatan yang biasa terdapat pada dinding candi. Gubah Baleman telah banyak mengenal perguruan yang tersebar di lereng Arjuna dan Penanggungan, namun ia tidak dapat menutup perasaan takjub ketika melihat segala hiasan yang ada di bagian dalam.
Begawan Purna Bidaran duduk di atas bantalan empuk dari kapuk randu, lantas ia meminta tamu-tamunya untuk duduk pada tempat yang telah disediakan.
“Saya tidak ingin kita berada di atas jalan yang berbahaya,” berkata Ki Rangga Gubah Baleman pada Begawan setelah keduanya saling bertukar kata untuk menyapa, ”tetapi saya tidak mempunyai pilihan lain karena tugas sebagai prajurit adalah melaksanakan perintah raja. Terlepas perintah itu salah atau benar.”
Toh Kuning kemudian melangkah masuk dengan kepala tertunduk sehingga bentuk wajahnya tidak dapat dilihat oleh Gubah Baleman. Di belakang Toh Kuning muncul beberapa cantrik yang turut membawa mangkok dan makanan ringan. Mereka dengan cekatan menata hidangan di atas tikar pandan lalu meminta mereka untuk menikmatinya. Ki Rangga Gubah Baleman dan para prajuritnya kemudian mengambil satu dua potong dan minum sekedarnya. Sementara itu para prajurit merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam ruangan jika dibandingkan dengan perguruan lain yang telah mereka datangi. Terasa oleh mereka dentang jantung yang berdebar di dalam dada masing-masing.