Sesekali mereka mengepung rapat Ki Ranu Welang namun kemudian mereka meninggalkan seolah memberi jalan untuk bebas. Lalu ketika Ki Ranu Welang akan bergerak melakukan serangan, tiba-tiba mereka kembali menutup geraknya dengan kepungan yang sangat rapat.
Serangan yang dilakukan oleh para pengawal Mahendra, yang sebenarnya adalah orang-orang padepokan, memang tidak begitu berbahaya untuk melawan orang setingkat Ki Ranu Welang. Seringkali Ki Ranu Welang dapat melepaskan diri dari serangan-serangan itu meski terkurung dalam kepungan yang rapat. Tetapi siasat seperti itu setidaknya mampu mengurangi bencana yang ditebar oleh Ki Ranu Welang. Keadaan itu tidak berlangsung lama. Keuletan dan keteguhan pengikut Mahendara mengetrapkan siasat telah menjadi pembeda.
Yang terjadi kemudian adalah seorang di antara pengepung itu kemudian memberi perintah yang hanya dimengerti oleh kawan-kawan mereka sendiri.
Datanglah perubahan yang benar-benar mengejutkan Ki Ranu Welang.
“Luar biasa!” decak kagum Ki Ranu Welang yang mengimbangi perubahan itu dengan menambah kecepatan dan tenaganya. Tombaknya yang berwarna putih dengan ujungnya yang lancip bergeririgi bergulung-gulung menutup tubuhnya dengan rapat. Namun orang yang menjadi pemimpin dalam pengepungan itu kembali memberi perintah.
Pengawal Mahendra kemudian meningkatkan kecepatan dan benar-benar mengurung Ki Ranu Welang dengan putaran senjata yang seperti saling menutup dan bergumpal-gumpal seperti awan.
Ki Ranu Welang sekalipun mempunyai kepandaian yang berlapis-lapis diatas tingkatan orang per orang dari pengepungnya, namun ia kini menghadapi senjata rahasia berupa belati kecil yang ujungnya terikat sebuah tali yang kuat. Para pengepung Ki Ranu Welang sesekali melontarkan belati itu dan kemudian menarik dengan cepat.
Maka perubahan susunan dalam mengepung itu mampu mengoyak pertahanan rapat Ki Ranu Welang. Tubuhnya mulai terkoyak oleh senjata yang berseliweran menggedor pertahanannya berulang-ulang. Pakaian Ki Ranu Welang pun basah dengan darah, luka silang menyilang semakin banyak memancarkan darah.
“Gila!” Ki Ranu Welang menggeram marah. Tetapi ia tidak memperlihatkan keadaannya yang mulai menurun. Ia kini sadar jika para pengeroyoknya adalah orang pilihan, yang berlatih secara khusus, untuk melawan orang berilmu tinggi seperti dirinya. Hanya saja Ki Ranu Welang tidak dapat menutupi kegelisahannya ketika ia melihat para pengikutnya dapat ditundukkan satu demi satu.
Ki Ranu Welang kini menghentakkan segenap kemampuannya untuk melepaskan diri dari kepungan yang semakin rapat dan dahsyat. Ia bersiap dengan tenaga inti yang akan dilepaskan dari jarak yang cukup. Tetapi para pengeroyoknya pun semakin sengit menambah serangan yang pada saat itu juga melepaskan lontaran belati yang disertai tenaga inti. Mereka mempunyai semangat tinggi dan telah berada di dalam barisan yang sangat rapat.
Tidak ada jalan bagi Ki Ranu Welang, sepertinya begitu.
Serangan demi serangan itu mengalir, dan Ki Ranu Welang menerima sebuah belati yang meluncur cepat dari sisi kiri lalu menusuk cukup dalam pada lambungnya. Seketika itu ia mencabut belati yang tertancap dan menarik tali dari pengeroyoknya dengan kemarahan yang luar biasa. Tetapi lawannya cepat melepaskan tali yang dipegangnya erat, kawan-kawannya sangat tanggap kemudian mereka serentak melakukan satu serangan dengan gabungan kekuatan yang besar.
Meski Ki Ranu Welang telah berusaha memutar tombaknya untuk menangkis serangan dari berbagai arah, ujung pedang seorang pengeroyoknya berhasil menggapai batang lehernya, lalu membebaskannya dari kehidupan.
Di bagian lain, Ken Arok dengan tangkas menahan gempuran pemimpin kelompok Mahendra. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang menjadi lawan Ken Arok tampak gesit dengan gebrakan demi gebrakan. Ia sangat tenang mengendalikan olah geraknya sepanjang tandang menghadapi Ken Arok yang cekatan berloncatan menyerang. Kedua tangannya yang kekar bergerak-gerak membentuk dinding tebal untuk membendung sambaran kaki dan tangan Ken Arok yang datang bertubi-tubi. Meskipun Ken Arok terus berloncatan, namun lawannya -yang seakan tidak bergeser dari tempatnya itu – justru mampu mendesak Ken Arok setapak demi setapak.