Agung Sedayu mengangguk-angguk melihat perubahan susunan pengawal kademangan. Senapati Mataram ini memuji ketenangan Bunija mencari jalan keluar. Tampak olehnya pengawal kademangan dan orang-orang dusun telah bergabung dan mengepung pertempuran, lalu mereka tiba-tiba membentuk simpul-simpul kepungan yang terhubung simpul kecil yang terdiri dari dua orang yang berdekatan dengan simpul kecil lainnya. Agung Sedayu mengerutkan kening lalu bertanya dalam pikirannya, “Ini sebuah gelar yang secara khusus disiapkan untuk melakukan pengepungan, mungkin. Sungguh, sangat menarik bagaimana gelar ini berkembang selanjutnya. Siapakah orang yang berada di balik gagasan cemerlang itu? Mungkinkah itu adalah Pangeran Purbaya atau kakang Untara? Ah, tapi bisa juga itu adalah orang selain beliau berdua.”
Bekel dusun yang mengambil tempat di samping Bunija kemudian bertanya pada kepala pengawal itu, “Bagaimana selanjutnya, Ngger? Perkelahian semakin liar dan sudah jatuh korban. Apakah ada yang masih ditunggu?”
Bunija menjawab, “Benar, Kyai. Kita masih harus menunggu kesiapan orang-orang kita sendiri.”
Bekel dusun mengernyitkan alis. Dia belum paham dengan maksud Bunija. Demi menenangkan perasaan bekel dusun dan jagabaya yang berada di dekatnya, Bunija menambahkan, “Kita dapat melerai mereka dengan cara menggempur sangat ketat, tapi itu harus dilakukan dengan benda-benda tumpul sebagai senjata.”
“Aku setuju bila memang harus seperti itu,” sahut cepat bekel dusun. Ki Jagabaya turut mengangguk.
Perkelahian itu berputar-putar, mengitari seluruh bagian halaman banjar saat mereka saling bertukar lawan atau saling mendukung teman.
Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Terima kasih.
Pecahnya pertempuran antar sesama mereka membuat Simbara makin gelisah. Dia tidak mengira kelompoknya bakal terpecah. Sepak terjang Parijoto nyaris tidak terbendung walah dihadang lebh dua orang dari kelompok yang mendukung Simbara. Sementara Sumawe sendiri seolah menjadi petarung yang juga nyaris tiada lawan. Maka, dalam keadaan itu, Simbara berloncatan mendekati Parijoto lalu mengikatnya dalam perkelahian satu lawan satu. Keputusan itu membuat dua kelompok Simbara sedikit merasa longgar.
Terjangan ganas Simbara segera mendapat sambutan hangat dari Parijoto. Mereka bertukar pukulan dan saling menebaskan senjata dengan cara yang sama-sama buas. Dua anak muda yang usianya agak terpaut jauh itu pun tak segan-segan langsung membenturkan kekuatan, maka perkelahian pun meningkat semakin sengit.
Senjata Parijoto seolah mempunyai banyak mata hingga terlihat seakan-akan dapat memilih sasaran yang aka dilukai pada tubuh Simbara. Walau demikian, Simbara masih dapat mempertahankan kedudukan dengan kecepatan yang cukup menakjubkan. Sekali waktu, mereka sama-sama menghindar. Tapi di lain saat, mereka seakan-akan sama-sama sedang menunggu hujaman senjata lawan. Pertarungan itu pun menarik perhatian orang-orang yang tidak terlibat dalam pertempuran seperti penduduk dusun dan pengawal kademangan.
Tak selang beberapa lama, keingintahuan Agung Sedayu terhadap gelar yang diperagakan pun seolah mendapat jawaban. Dua simpul atau kelompok kecil yang beranggota dua orang, satu dari pengawal dan satu lagi dari dusun, segera mengurung salah seorang dari gerombolan yang bertikai ketika dia berada dalam jangkauan kelompok kecil itu. Kemudian dua simpul atau kelompok yang lebih besar segera mengurung lalu membatasi ruang gerak pertempuran sehingga dua kelompok kecil dapat bekerja sama untuk meringkus lalu memisahkan orang tadi dari pertempuran. Demikian keadaan itu berlangsung secara bergantian dan kadang bersamaan hingga lambat laun jumlah orang yang bertempur semakin berkurang.
“Luar biasa! Benar-benar hebat!” decak kagum Agung Sedayu ketika melihat cara Bunija dan pengawal kademangan meredakan kerusuhan di pelataran banjar.
Kesibukan Bunija dan bekel dusun segera meningkat saat gabungan pengamanan mulai membawa satu demi satu dari gerombolan Simbara. Mereka yang terluka ditempatkan sebagai tahanan di sisi utara banjar dengan penjagaan ketat jagabaya beserta sebagian orang dusun. Sementara yang terbunuh pun mendapatkan perawatan semestinya dari orang-orang dusun yang lain.
Ketika simpul-simpul dari gelar yang diperagakan Bunija dan kawan-kawan mulai membuahkan hasil, Sukra masih tetap pada kedudukannya. Oleh Bunija, Sukra mendapatkan tugas khusus yaitu mengamati anak-anak muda dari kelompok yang berselisih yang dianggap berkemampuan tinggi, dalam waktu itu adalah Parijoto, Sumawe dan Simbara. waktu itu Maka, sepasang mata Sukra pun bergantian menyorot lingkar pertarungan dari tiga anak muda tersebut.
Pertikaian berdarah semakin mereda hingga menyisakan dua lingkar perkelahian, Sumawe yang menghadapi dua pendukung Simbara dan Parijoto yang ulet melawan Simbara sendiri. Namun tak lama kemudian, Bunija memberi tanda pada Sukra bahwa dia akan mencampuri perkelahian Sumawe. Sukra mengangguk karena Bunija tidak sendirian tapi ditemani dua simpul kecil dan satu simpul besar.
“Kakang Bunija akan baik-baik saja karena pengawal kademangan pun taat perintahnya,” ucap Sukra dalam hati ketika awalnya ada sedikit keraguan membayang. Keselamatan Bunija adalah tanggung jawab Sukra sesuai pesan langsung Ki Tumenggung Untara melalui duta prajurit Jati Anom. Maka, pikirnya, Sumawe dan dua anak buah Simbara akan dapat diimbangi sebelas pengawal kademangan, termasuk Bunija.
Sejenak kemudian, Bunija memberi aba-aba agar para pengiringnya segera menyerbu lingkar perkelahian Sumawe. Terjadilah benturan hebat yang tak seimbang dari segi jumlah dan juga senjata. Bunija melarang semua pengiringnya menggunakan benda tajam meski lawan mereka memegang pedang dan golok panjang. Walau demikian, keunggulan jumlah benar-benar dimanfaatkan Bunija melalui aba-aba sehingga kerja sama antar pengiringnya dapat menyudutkan Sumawe yang gigih memberikan perlawanan. Tapi, tongkat bambu yang digunakan pengawal kademangan akhirnya mampu mengunci ruang gerak Sumawe.
Sukra pun bergerak memecah lingkar perkelahian Parijoto dan Simbara ketika dia mengikuti perintah Bunija saat menyerbu Sumawe. Seorang diri Sukra membelah lingkaran yang sebenarnya sedang berlangsung sangat sengit dan menegangkan. Pedang kayu di dalam genggaman Sukra seolah-olah berubah menjadi penggerak angin yang menderu hebat dan dahsyat.
Hati Simbara tergetar hebat! Cara Sukra bertempur benar-benar berbeda dengan sebelumnya. “Apakah anak ini sedang mengalami gangguan di dalam otaknya?” batinnya. Senjata di tangan Simbara hampir terlepas dan terlempar ketika batang kayu Sukra menghantam bagian samping pedang. Tak berhenti di situ, Sukra menekan Simbara dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada dalam dirinya sehingga Parijoto pun hanya termangu-mangu dibuatnya.
Kebingungan Parijoto pun terlihat Sukra melalui sudut matanya. Anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera menerjang Parijoto dengan gempuran yang tak kalah hebat. Kesimbangan Parijoto hampir tidak dapat dipertahankan sehingga dia terhuyung-huyung dan nyaris tumbang. Namun demikian, Parijoto seolah mempunyai pembangkit semangat di dalam dirinya. Meski terkejut, tapi dia cepat menguasai diri lalu membalas Sukra dengan serangan yang trengginas, buas dan tetap liar.
Sekejap kemudian, Parijoto berkelahi dengan gaya yang nyaris berbeda ddibanding saat betarung melawan Simbara. Dalam pandangan Parijoto, Sukra adalah lawan yang sepatutnya dihormati karena dia sendiri tak bermasalah dengan anak Menoreh itu. Maka Parijoto pun bertarung dengan kematangan yang sebelumnya tidak terlihat oleh orang-orang bermata awas seperti Agung Sedayu. Parijoto mengalirkan serangan pada bagian-bagian penting tubuh Sukra dengan penuh perhitungan. Sukra pun meladeni setiap serangan dengan cara yang cukup menawan.
Namun, Simbara terlena. Dia menduga Sukra sengaja mengambil alih Parijoto sebagai lawan. Oleh sebab itu, Simbara pun mengendurkan kewaspadaan dengan memerhatikan anak buahnya yang menjadi tahanan orang-orang dusun.
Keadaan itu diketahui oleh Parijoto. Tanpa menghiraukan ayunan pedang kayu Sukra yang menebas pinggangnya, secara tiba-tiba Parijoto melemparkan pedang ke arah Simbara. Jarak yang sangat dekat, barangkali sekitar empat langkah saja dan mustahil bagi Simbara untuk menghindar. Ujung senjata Parijoto pun menembus tepat pada dada Simbara yang langsung terjengkang! Agaknya Parijoto rela terkena hantaman pedang kayu Sukra tapi seharga dengan tewasnya orang yang dianggap pengecut olehnya. Hati Parijoto benar-benar terpuaskan! Parijoto, yang tampak menahan sakit pada bagian perut, berlari-lari menghampiri kepala dusun dan Bunija untuk menyerahkan diri.
Ketika sudah berjarak dekat dengan kepala dusun dan Bunija, Parijoto menyorongkan dua tangan sambil berkata, “Tidak akan ada perlawanan lagi. Aku menyerah. Terserah kalian tentang kelanjutan nasib kami. Orang yang seharusnya bertanggung jawab pada seluruh kejadian malam ini pun sudah meninggalkan kita.” Parijoto kemudian menunjuk pada arah Simbara terbaring dengan jasad yang perlahan-lahan mulai mendingin.
Bunija segera mengikat dua tangan Parijoto lalu menyerahkannya pada kepala dusun.
Tumbangnya Simbara disambut dengan sorak sorai penuh gempita oleh kelompok Parijoto. Sedangkan para pendukung Simbara hanya termangu dengan tatap mata kosong. Kebanyakan mereka berpikir, lalu harus bagaimana?
Sementara Sukra jatuh terduduk sambil memandang wajah Simbara. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu menggeleng-geleng karena tidak menduga Parijoto akan membuat keputusan yang sangat mengejutkan. “Sebenarnya, apa yang menguasai pikirannya?” tanya Sukra pada hatinya sambil mengalihkan pandangan pada punggung Parijoto.
Demikianlah orang-orang dusun dan pengawal kademangan bahu membahu membereskan bekas-bekas perkelahian. Bunija pun sudah menyampaikan pesan Ki Tumenggung Untara pada bekel dusun bahwa seluruh tahanan akan dibawa ke pedukuhan induk.
Mendengar pesan itu, bekel dusun bertanya, “Sebenarnya kami tidak keberatan, Ngger. Tapi Ki Tumenggung tentu mempunyai alasan kuat.”
Bunija mengangguk. “Benar, Kyai. Ki Tumenggung berpendapat jika para tahanan tetap di sini,maka besar kemungkinan dusun ini akan menjadi sasaran kemarahan kawanan dari anak yang bernama Simbara itu. Jadi, menurut Ki Tumenggung Untara, pedukuhan induk sudah seharusnya menjadi benteng terkuat dalam hal ini. Tapi, Ki Bekel dan Ki Jagabaya masih dapat membantu kami dengan hal-hal lain seperti penyediaan pangan atau keperluan yang lain.”
Dua orang itu kemudian mengangguk. Lalu kata bekel dusun, “Baiklah, kami tunggu kabar baik selanjutnya.”
Setelah memastikan segalanya, Bunija memimpin barisan pengawal kademangan untuk kembali ke pedukuhan induk sambil membawa tahanan yang dinaikkan di atas pedati.
Hingga iring-iringan Bunija mencapai simpang tiga yang menjadi ujung dusun, Agung Sedayu belum berniat untuk mendahului mereka menuju Kademangan Sangkal Putung. Jarak mereka ke pedukuhan induk masih lumayan jauh, maka para tahanan dapat saja melakukan kegilaan lalu kembali membuat kekacauan. Seandainya terjadi seperti itu atau lebih buruk lagi, Agung Sedayu merasa harus segera hadir di tengah-tengah mereka.